Kusisir
helai demi helai rambut panjangku yang
menjuntai sampai ke pangkuan dengan jemari-jemari tangan yang bergetar.
Kupandangi wajahku di depan cermin besar yang menggantung diam di dinding kamar
sambil bersenandung lirih. Lagu yang sama, lagu yang tiap malam kunyanyikan
sayup-sayup saat bercermin dan menyisir rambut. Tak satu pun kerlip lampu di
dalam kamarku, tak juga jelas mata mereka memandangku ketika bercermin. Hanya
ada diriku sendiri disana, hanya aku yang bisa melihat.
“Kenapa selalu lagu itu yang kau nyanyikan
tiap bersamaku?”
Kusisir
rambutku dari atas hingga sampai pada pangkuan, pelan. Aku menikmati setiap kali
duduk di depan cermin dan menyisir
rambut dalam gelapnya kamar. Terkadang tidak ada tanya yang mengganggu ketika
aku bercermin, hanya sesekali terdengar suara mirip gumam tak jelas dan
hembusan angin yang menerobos masuk lewat jendela besar disamping tempatku duduk
memagut diri.
Aku
terus bersenandung lirih. Malas rasanya menghentikan nyanyian dan membuka mulut
untuk menjawab pertanyaannya. Dari kejadian yang sudah-sudah, kelanjutan adegan
berikutnya sangat mudah ditebak. Kemarin aku akan menghentikan senandung
lirihku, membalik badan, menatap wajahnya dan menjawab pertanyaannya dengan
santun. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan bergeming, terus bersenandung tanpa
menggerakkan sedikit pun tubuhku. Dan dari cermin tempatku berkaca, dengan
sudut mata kupandangi anjing itu teronggok bisu diatas ranjangku. Tak bergerak.
Bulu-bulu hitamnya yang tebal seperti makin menambah gelapnya malam di dalam
kamarku. Telinganya yang terbungkus bulu-bulu tipis bergerak naik turun seirama
tarikan nafasnya. Moncong hidungnya mengkilat ditimpa sisa lendir yang mungkin di
dapatnya dari bagian tubuhku. Entah, bagian tubuhku yang mana. Aku membuang
pandangan dari anjing berbulu hitam itu, aku membuang keinginanku untuk ikut
berbaring disampingnya, diatas seprai kusut yang masih menyimpan hangat tubuh
kami beberapa menit yang lalu. Anjing hitam itu tertidur dengan damai, kedua
tangannya memeluk lekat guling itu di dadanya. Ah, hangatnya jika aku ada dalam
pelukannya malam ini. Helai-helai rambut yang sebagian menutupi tubuh
telanjangku mulai menari ditiupi angin malam. Dingin. Angin malam mulai
membuatku ketakutan. Desirnya menyentuh lembut cuping telingaku, bulu kudukku
berontak. Kulihat lagi anjing hitam itu dari cermin di depanku. Tidurnya begitu
melenakan. Aku ingin ada di sampingnya, luruh dalam buaian bulu-bulu tebalnya,
menggulung semua kelelahan, menyerahkan diriku dan memimpikan indahnya cinta
yang mungkin ada padanya malam ini. Aku ingin.
“Kau cantik, Nak”
Ibu
membelai rambutku dengan lembut ketika kurebahkan diri di pangkuannya malam
itu. Senandung lirihnya mulai terdengar di telingaku. Lagu itu, lagu sama yang
selalu kunyanyikan tiap malam saat menyisir rambut dengan jemari tangan di
depan cermin dalam gelapnya kamarku.
“Kelak akan banyak laki-laki membayar kecantikanmu
dengan ego mereka, Nak. Masa itu tidak akan lama lagi,”
Aku
tidak terlalu mendengar apa yang ibu katakan. Kepalaku dipenuhi nada-nada dari
lagu yang tadi lirih di nyanyikannya. Lagu itu tidak bersyair, hanya nada yang
iramanya mengalun seperti deru ombak di laut lepas pada malam-malam yang di sinari
bulan purnama, mengajak mata menerawang menjauhi raga. Lagu itu sudah sedari
kecil kudengarkan dari bibir ibu yang menggendongku dalam tubuh telanjang
dengan keringat hangat yang menyelimutiku dalam gendongannya. Sering aku
terkaget ketika dalam tidur lelapku butir-butir airmata ibu menetes di kedua
pipiku yang direngkuhnya dalam pelukan menggigil. Terasa sekali tubuhnya yang
bergetar memelukku terlalu erat. Aroma tubuhnya tidak seperti aroma tubuhnya
yang biasa ku kenali, ada bau lain di helai-helai rambut, leher dada dan
sekujur tubuhnya. Entah, aroma apa dan siapa yang menempel pada tubuh ibu malam
itu.
Sejak
malam dimana aku mengenali ibuku dengan aroma tubuh yang tidak seperti aroma
tubuhnya yang akrab dengan penciumanku, sejak itu pula lagu itu menghipnotis
malam-malamku bersama ibu. Bahwa sejak malam itu ibu dengan tergopoh-gopoh
masuk ke dalam kamar tempatku terbaring di atas ranjang sendirian dengan tubuh
telanjangnya, memelukku erat-erat dengan airmata yang menetes satu-satu, adalah
malam dimana aku mulai belajar menjadi dewasa.
“Kenapa aku tidak boleh memelukmu?”
Aku
menunduk sebentar, menghindari tatapan matanya, lalu berlalu beberapa langkah
mendekati jendela. Dia hendak memulai langkahnya,
“Apakah semalam aku tidak memuaskanmu?”
Tanyaku.
Dia
membatalkan langkahnya, membuat senyum tipis, dan menjawab,
“Hanya kau satu-satunya perempuan yang
membuatku bisa menikmati persetubuhan Ryn,”
“Dan selama ini tidak pernah ku kecewakan
birahimu di ranjang meski tanpa pelukan,”
“Memang benar….,”
“Pergilah Dan,”
Dan
seperti yang lainnya, kau pun akan berlalu, menjauhiku dan membiarkanku
menikmati tegak punggung kalian yang perlahan pudar dari pandangan. Kau datang
sewaktu matahari tak bisa menyapa wajahmu, dan sebelum matahari datang, kau
sudah tidak lagi denganku. Esok, mungkin kau akan kembali, mungkin juga tidak
akan pernah kembali. Yang lain tetap akan datang, meski perlakuan kalian
terhadapku sama.
Denganmu
dan juga mereka tidak akan merubah kebiasaanku pada malam-malam gelap di dalam
kamar. Aku tetap akan duduk berlama-lama di depan cermin dalam tubuh telanjang,
menyisir rambut dengan jemari tangan sambil berdendang lirih sampai datang pagi,
sampai kalian menghilang. Aku harus tetap terjaga saat kau ada di atas
ranjangku. Bercermin dan bersenandung di samping jendela besar yang
menghitamkan malam-malamku adalah pilihan yang tidak lagi bisa kutawar dengan
hal lain.
Aku
tidak boleh menyerahkan diri pada ranjang berseprai kusut yang beberapa jam
lalu telah menjadi tempat kita membakar birahi dalam tubuh telanjang yang
saling mengejar nikmat. Aku tidak akan merebahkan diri di samping seekor anjing
berbulu hitam yang sedang pulas dalam tidurnya. Sebesar apa pun kantuk datang
menyerang, aku harus bertahan. Aku tidak mungkin bisa tertidur dengan pikiran
yang penuh dengan rasa jijik sewaktu membayangkan moncong hitamnya yang
berlendir itu menyentuh leher, dada atau mulutku. Aku tidak mau. Aku memilih
untuk duduk telanjang di depan cermin sambil menyisir rambut panjangku dengan
jemari tangan, bersenandung lirih dengan lagu yang selalu sama dan berharap pagi
bisa datang lebih cepat.
Apa
yang kulakukan dan pikirkan saat di depan cermin di malam-malam gelap tidak
pernah sedikit pun berubah sejak ibu meninggalkanku untuk selamanya.
Helai-helai rambut yang kusisir dengan jemari tangan, yang panjangnya sudah sampai
pada pangkuanku, adalah malam-malamku berbicara dengan ibu. Ibu meninggalkan
banyak cerita pada helai-helai rambutku yang selalu dibelainya tiap malam
sewaktu ibu masih hidup. Sebesar apa pun keinginanku untuk bisa tidur disamping
laki-laki yang terlelap di ranjangku, sebesar itu pula aku harus membunuh
keinginanku. Aku hanya merasa harus duduk bersenandung menatap malam dari luar
jendela kamar sambil menyelimutkan rambut panjangku pada sebagian tubuh
telanjangku, mengubur jauh-jauh keinginanku akan pelukannya.
“Kita tidak boleh memeluk laki-laki yang
datang pada kita, Nak,”
“Kenapa tidak boleh Bu?”
“Kelak kau akan menemukan sendiri jawaban
dari pertanyaanmu itu,”
Tiba-tiba
ada hening diantara kami. Ibu memandang jauh ke depan dalam tatapan kosong. Aku
masih berharap ibu menjawab pertanyaannku.
“Apakah ibu juga tidak memeluk laki-laki?”
“Pernah sekali, dan itu kesalahan besar
yang pernah ibu lakukan,”
Tak
ada penjelasan lagi tentang pertanyaanku itu di kemudian hari. Tiap kali aku
bertanya tentang alasan ibu untuk hal yang dilarangnya itu, tiap kali juga aku
tidak pernah mendapatkan jawaban dari ibu.
Sampai
suatu saat tanpa sengaja aku melihat ibu memeluk erat seorang laki-laki yang
tidak ku kenal dari dalam kamarnya. Kedua tangan ibu melingkari punggung
laki-laki yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari ibu. Mereka berpelukan lama
sekali. Ibu melanggar ucapannya sendiri! Aku kecewa pada ibu. Kemarahanku memuncak,
aku merasa perlu bereaksi dengan pengkhianatan ibu padaku. Emosi membuatku
hendak membuka lebih lebar pintu kamar ibu yang sedari tadi tidak tertutup
rapat. Baru saja hendak kubuka pintu kamar ibu lebih lebar, ketika tiba-tiba
kudapati seekor anjing berbulu hitam legam berada persis di kepala ibu. Anjing
hitam itu mengibas-ngibaskan ekornya dengan moncongnya yang basah, lalu
mulutnya terbuka lebar. Ibu masih memeluk laki-laki itu dengan erat, ada
sedikit senyum di bibirnya. Laki-laki itu memeluknya dalam seringai yang sulit
kutebak artinya. Mata laki-laki itu menatap ibuku dengan pandangan yang sangat
aneh. Kedua tangannya yang memeluk tubuh ibuku penuh dengan bulu-bulu hitam
legam dan kuku-kukunya yang runcing itu nyaris menusuk punggung ibuku. Aku
hendak meneriaki ibu, tapi mulutku gagu dan tubuhku kaku. Anjing itu
mencakar-cakar kepala ibu, menumpahkan liurnya di sekitar wajah ibu. Ibu diam
saja. Ibu tersenyum!
Secepatnya
aku berlari ke kamar meninggalkan ibu dengan laki-laki berbulu hitam tebal yang
memeluknya dengan kuku-kuku tajamnya. Perutku terasa mual sekali menyaksikan
pemandangan yang membuat perasaanku bercampur aduk, bingung, marah, heran dan benci. Aku bingung,
tak menahu ada apa sebenarnya dengan ibu. Apa yang sudah ibu lakukan, kenapa
ibu diam saja ketika anjing hitam legam itu mulai mencakar-cakar tubuhnya
dengan jemarinya yang dipenuhi kuku-kuku tajam? Lama aku bergelut dengan semua
kebingunganku, berhari-hari mengurung diri di dalam kamar, menjauhi ibu. Sampai
akhirnya malam itu ibu menghampiriku di kamar.
“Perempuan seperti ibumu ini tidak boleh
berharap, Nak…karena harapan yang menghampiri, datangnya selalu bersamaan
dengan penderitaan,”
Pandangan
mata ibu menerawang jauh, entah ke masa yang mana. Di bawanya kepalaku
bersandar di pangkuannya.
“Perempuan seperti kita benar-benar tidak
boleh memeluk laki-laki yang datang pada kita. Ketika kita memeluk mereka,
ketika itu juga kaki-kaki kita patah, jari-jari kita terlepas, kepala kita
pecah berkeping-keping di udara dan hati kita hancur tak berbentuk,”
Suara
ibu bergetar, aku tak berani menghentikan ucapan ibu.
“Kita ini hanya pelacur Nak, tempat
laki-laki membuang nikmat di pangkal pahanya. Semalam dipakai, selebihnya tak
pernah diingat,”
Ibu
menangis.
“Kalau
saja sedari dulu ibu tidak pernah membiarkan tubuh ibu dipeluk laki-laki,
mungkin ibu tidak akan pernah mengerti seberapa kotor dan hinanya pekerjaan ibu,”
Tangis
ibu pecah. Butir-butir airmatanya menetes sampai pada luka-luka menganga
berwarna merah yang ada di sekujur tubuhku. Perih. Tapi aku tak mampu merintih
kesakitan, tidak juga mampu menangis. Seluruh tubuhku lemas. Aku tersungkur di
bawah kaki laki-laki itu. Helai demi helai rambut panjangku terlepas dari kulit
kepala, berhamburan satu persatu menyentuh lantai dan terbawa angin malam. Luka
itu bertambah banyak dan memenuhi tubuh telanjangku yang mulai berwarna merah
karena darah yang terus mengucur dari setiap luka yang ada.
Laki-laki
itu memelukku. Menghujaniku dengan mimpi tentang sebuah rumah kecil dengan
taman bunga yang bermekaran di pagi hari dengannya dan dengan diriku yang tidak
lagi telanjang. Mataku berhias wajah-wajah mungil dua anak kecil yang sedang
berlarian di atas rumput hijau yang membungkus halaman kecil rumah indah itu.
Aku tidak lagi telanjang, aku bukan pelacur. Aku perempuan yang mempunyai
seorang suami dengan dua anak dan rumah mungil bertaman bunga. Rambutku tak
sepanjang cerita-cerita ibu yang penuh dengan kisah muram dan sedih. Aku
memiliki semua yang dimiliki perempuan lainnya. Aku bukan pelacur, aku punyai semuanya.
“Tidurlah, aku harus pulang malam ini.
Besok aku akan kemari lagi,”
Kuku-kuku
runcingnya yang sedari tadi membelai tubuhku dengan lembut tiba-tiba menusuk
tajam menembus kulit dan nadiku. Mulutnya memanjang ke depan, moncong hitamnya
berkilatan dengan lendir. Taring-taringnya mencabik-cabik tubuhku. Aku
tersungkur penuh luka memerah. Perih. Kucoba mencari rumah mungil, taman bunga,
dua wajah anak kecil dan laki-laki itu kesana kemari. Kutengok ke kanan ke
kiri, ke depan ke belakang, tak ada apa pun. Tak ada satu pun terlihat di
mataku. Hilang.
Hanya
ada anjing berbulu hitam di depanku. Anjing hitam itu terus mencabik-cabik
tubuhku dengan biadab. Kemaluannya mengencingi mukaku yang penuh dengan gurat
luka cakar. Aku diam, tak mampu melawan, segala daya upayaku memuai. Kakiku
patah, jari-jemariku terlepas satu-satu,
kepalaku pecah berkeping-keping di udara dan hatiku hancur tak berbentuk. Sekali
lagi aku berusaha mencari sosok laki-laki yang tadi memeluk tubuhku dengan
erat, aku mencarinya. Tanganku yang tak lagi berjemari, menggapai-gapai ke
udara, dimana dia? Pagi sudah datang, tapi mataku tak bisa melihatnya di
ruangan ini.
“Kau melakukan kesalahan pertamamu, Nak,”
Aku
tersentak. Suara dan sosok ibu tiba-tiba hadir di hadapanku.
Aku
menangis tersedu.
“Kita terlanjur kalah, Nak,”
“Aku hanya ingin merasakan pelukannya Bu,
sekali saja…,”
“Menangislah kalau kau ingin menangis,”
“Ibuuuu…………………..,”
Ibu
memelukku dengan penuh kasih. Tangisku pecah di bahunya.
“Aku melihat surga ketika aku memeluknya,
Bu…,”
“Aku menginginkan surga itu, Bu…,”
Ibu
tidak berbicara, hanya pelukannya terasa makin erat.
“Surga tidak pernah ada untuk pelacur
seperti kita, Nak…Surga yang kau lihat saat memeluknya akan begitu saja
terpendar saat pelukannya harus berakhir di pagi hari. Dia akan kembali pada
dunianya yang benderang, dunia yang tak kita kenali. Dan kita akan berakhir
lagi disini, sendiri menunggunya kembali dengan harapan dan mimpi, sampai
terbunuh waktu yang tak pernah lagi membawanya kembali pada kita,”
Dalam
perih yang masih terasa sampai malam ini, aku terus bersenandung di depan
cermin besar di samping jendela besar dalam tubuh telanjang sambil menyisir
rambut panjangku yang sudah sampai di pangkuan dengan jari-jari tangan yang
bergetar. Senandung lagu yang sama, lagu tanpa syair. Dan jauh di dalam cermin
tempatku berkaca, anjing hitam itu tergolek di ranjang berseprai kusut yang
masih menyimpan hangat sisa bara tubuh kami selepas bercinta beberapa jam yang
lalu. Bulu-bulu hitam di tubuhnya semakin legam menutupi sekujur tubuhnya.
Moncong hitamnya masih mengkilat karena lendir yang menempel disana. Aku masih
seorang pelacur yang tiap malam dalam ketelanjangannya menunggu pagi datang
dengan senandung lirih lagu tanpa syair ; tak lagi menginginkan pelukan dari
anjing-anjing hitam yang datang padaku, tak lagi ingin bermimpi tentang surga
yang tak pernah ada.