Sabtu, 30 Juni 2012

WAJAH PAGI DI SEBERANG JENDELA

     Pagi berembun yang semalam kunanti datangnya, sekarang ada di telapak tanganku. Mataku masih merajuk pada sisa malam dibelakang pungung. Ah, ini sudah pagi, pagi yang lembab. Ada senyum segar terlihat disana, senyum dari wajahmu yang sepanjang musimku menunggu terus kucumbu dengan jarum jam, tik tak tik tak tik tak...

Aku kehilangan gurat-gurat wajahmu sedari kuberanikan diri menyuntikkan rindu pada hatiku yang lama dihidupi benalu. Hatiku berkeras menyimpanmu pada malam sampai kulupakan puluhan pagi berkilau hanya dengan terus memadatkan hati menjadi muram. 

Dan sekarang kau ada di telapak tangaku, mungkin lebih tepatnya kenangan tentangmu yang ada di telapak tanganku. Ya, hanya kenangan ; remah-remah setia yang terus berguguran dari telapak tanganku yang lelah menengadah. Sementara kau ada disana, di seberang jendela bening, berjarak lima senti dari tempatku duduk tertunduk pagi ini. 
"Aku tak berani menatapmu...," biar saja kupandangi sisa-sisa kenanganku tentangmu berserakan dilantai kamarku yang basah dengan airmata. 
Baca Selengkapnya - WAJAH PAGI DI SEBERANG JENDELA

BINTANG JATUH PADA BAHU PEREMPUAN YANG MENCARI WARNA MERAH DALAM DARAHNYA

     Malam ini bintang-bintang jatuh di atas jemari kakiku, berkilat-kilatan mengajak raut mukaku tersenyum. Aku hanya tertunduk mengamatinya lamat-lamat dalam busung dada yang penuh sesak. Sepi sekali pinggiran hatiku malam ini, lebih sepi dari malam-malam kemarin. Disana masih kulihat diriku memeluk tubuh laki-laki tua itu dengan airmata berjatuhan di pipi,
"Pak, aku anakmu khan...?"
Jemari tanganku mengusap punggung tuanya, mencoba mencium bau darah dibawah jaringan kulit dadanya, merah tua warnanya, tapi tidak ada bau darahku padanya. Roh laki-laki tua itu tidak bergera, hanya mulutnya yang melumat habis bibirku. Dengus nafasnya mengeluarkan bara api yang membakar mataku. Ruangan ini tiba-tiba gelap, hanya tubuh telanjang kami yang mengkilat karena keringat yang masih menari kesana kemari menganiaya ranjang. Lambat laun tubuhnya luruh, berjatuhan dalam kepingan-kepingan kecil memenuhi lantai kamar yang gulita. Aku benar-benar tak bisa melihat apa-apa, gelap. Seperti yang sudah-sudah, akhirnya bau lembaran uang itu sampai pada hidungku. Pelan-pelan mataku kembali terbuka sewaktu jemari tangannya membelai helai-helai rambutku. Dia bapakku! Takjub jiwaku luruh dalam pelukan hangatnya yang menyelimuti risau hatiku.
Dipungutinya kemeja dan celana kainnya yang berserakan di atas ranjang yang lembab penuh keringat, dan sekedip mata tubuh telanjangnya tertutup. Lembaran uang yang beberapa menit tadi menyadarkanku dari kegelepan, tiba-tiba sudah ada ditelapak tanganku yang tengadah. Setengah berlalu, lamat kudengar bibirnya meninggalkan jejak padaku,
     "Aku bukan bapakmu,"
Aku masih saja sibuk mengendus-endus ke seluruh penjuru kamar, mencari genangan darah yang baunya serupa dengan warna merah darahku. Suara ibuku terus terngiang di telinga ketika tubuh laki-laki tua itu berlalu menjauhi pintu kamar yang sedikit terbuka,
     "Bapakmu selalu mencari pelacur, jadilah pelacur kalau kau masih berkeras hati mencarinya,"
     Malam itu bintang-bintang jatuh di atas pangkuanku. Aku melihat wajah cantik ibuku dipenuhi warna-warni di kelopak mata, alis, pipi, bibir dan lehernya. Banyak warna merah yang kutemukan padanya. Dari kejauhan kulihat ibuku mendesah dalam tawa dan rintih yang tak kumengerti. Suara-suara itu akrab kudengar sejak aku masih meringkuk di dalam perutnya, dan masih juga tidak bisa kumengerti artinya. Di dalam kelambu kusam itu, ibuku menari diatas tubuh telanjang dengan butir-butir keringat yang mengajak lampu kamar menjadi sesekali berkilatan. Lalu ibu tertawa merayu pada laki-laki di hadapannya dengan rambut panjangnya yang berantakan.
     Aku bersembunyi di dalam gelap, tanpa suara, sampai ibuku keluar dan menarik tanganku dengan penuh amarah. Dibawanya aku ke kamar.. Ibu diam dan melirikku ang terduduk disampingnya. Aku mengamati warna-warna merah di wajah dan lehernya yang di hapusnya dengan kapas basah. Warna merah di leher dan dadanya tidak bisa terhapus dengan kapas basah itu.
     "Dia bukan bapakmu!"
     "Kapan ibu memberitahuku yang mana bapakku?"
     "Sudahlah! Jangan merengek terus meminta bapakmu, aku muak!"
Aku terdiam. Ibu juga terdiam. Kekecewaan datang lagi di dadaku. Sepi. Ibu melirikku.
     "Kamu anakku, itu saja sudah cukup,"
Aku diam. Selamanya diam. Hanya malam-malam yang penuh dengan lenguh dan tawa aneh ibuku dari kamar sebelah yang membuatku tak pernah bisa diam. Suara laki-laki yang menggumuli tubuh ibuku sering sekali memaksaku memunguti sejarah dari atas ranjangnya. Pernah sekali kudengar dari dalam sana laki-laki itu bicara,
     "Anak itu anakku bukan?"
Lalu suara tawa ibuku dan laki-laki itu terdengar lebih keras di telingaku. Tak ada apa-apa yang kudengar lagi dari mulut ibuku.
     Aku tercipta dari merahnya darah yang menghablur di atas ranjang. Bapak dan ibuku membuatku terlahir, dan waktu membuatku mengumpulkan warna merah dari tubuh-tubuh mereka yang datang padaku sejak malam aku mencari bapakku.
     "Bapakmu selalu mencari pelacur, jadilah pelacur kalau kau masih berkeras hati mencarinya,"
    Dan bintang-bintang itu jatuh diatas bahuku, membuatku terkubur makin dalam pada kamar gelap yang menghadirkan tubuh telanjang mereka pada tubuhku yang mencari sejarahku bermula dari atas ranjang. Semakin lama semakin membuatku terbenam dari pagi yang menghitamkan raut mukaku. Aku masih mencari bapakku ; mencari warna merah dalam darahku.   
Baca Selengkapnya - BINTANG JATUH PADA BAHU PEREMPUAN YANG MENCARI WARNA MERAH DALAM DARAHNYA

Kamis, 28 Juni 2012

MENGELABUI KATA

Kubisikkan sunyi
Pada malam-malam gulita
Ketika janji melupakan pulang
Hingga nanti tak lebih dari hampa

Bintang-bintang itu tidur di atas ranjang
Entah datang dari mana, mungkin sekedar nama
Tergopoh-gopoh menyelimutkan selingkar akad
Lalu sekedip mata menertawakan kusutnya setia

Kalau saja kau ingat,
Satu langkah terhenti tepat di sini
Mungkin mata ini tak akan mengkhianati mati
"Ah, biar saja bintang-bintang itu mengelabui kata,"




Baca Selengkapnya - MENGELABUI KATA

Rabu, 27 Juni 2012

MENIDURKAN MIMPI

Disana ku mau kita
Mauku, bukan maumu
Padamu kutitipkan aku
Mungkin, tapi aku tak ada padamu

Dalam tidurku ku mimipikan kita
Sepertinya tidak juga, disana hanya ada aku
Untuk harap kujalin mimpi demi mimpi
Meski tak pernah bertemu wujud, ilusi

Jera sudah bibirku meminta nyata
Malu pun datang di antara lelah, jengah
Kutangkap sudah di pelupuk mata,
Tak akan lagi mata pada mimpi-mimpiku ; aku tertidur
Baca Selengkapnya - MENIDURKAN MIMPI

Selasa, 26 Juni 2012

PUISIKU MELACURKANNYA


Puisiku merajuk pada malam
Berlari bersama dinginnya jiwa
Merasuki dinding kosong hatinya
Darinya kupunguti cumbuan mereka

Puisiku mencuri lenguh dari bilik kamar
Mengurai nelangsa di kelopak mata redupnya
Noda mereka padanya ; di bibir, leher, dada dan kemaluan
Puisiku menggumuli ketelanjangannya, melacurkan takdirnya

Puisiku masih melacurkannya, masih...
Tak mampu mendongakkan kepalanya dari segunung cibiran
Tak juga menyudahi tubuh mereka menyetubuhi tubuh matinya
Aku rindu memulangkan puisi-puisiku padanya yang tak pernah melacur!
Baca Selengkapnya - PUISIKU MELACURKANNYA

Minggu, 24 Juni 2012

SECANGKIR KOPI KITA

Pagi ini kopi kita meruah,
Secangkir cerita mengepul disana
Dari gelapnya butiran kisah kemarin
Kita menunggu hari ini, menghentikan tanya

Berbuih kepul asapnya meminta jawab,
Sekumpulan jejak datang kembali menghampiri
Aku ingin terhenti disini dalam rebah kepala di bahumu
Andai aku bisa menikmati hangat nafasmu pada leherku

Panas kulit cangkir kita pagi ini membakar embun
Masih ada beku teringgal di kisi-kisi hati kita, lelah berlari
Inginnya berteriak meminta ampun pada waktu ; berhetilah
Tak hendak jenuh mata menutup rindu, "Aku pongah menghitung kita,"

Baca Selengkapnya - SECANGKIR KOPI KITA

Selasa, 19 Juni 2012

HEI...PAGI!

Asap rokok meminta pagi
Gelap datang tergopoh-gopoh
Ada huru-hara pada dinding-dinding di samping kamar
Hei...aku mau pagi menghujat!

Huruf-huruf mulai rebah di dada
Tak satu pun kalimat berseru tentang masa
Santun tawa mencibir bayangan
Hei...aku siap mengkhianati pagi!

Tak ada apa pun yang bisa kupunguti
Hitam merangkum jiwa-jiwa karam
Tundukkan aku, jerat raut mukaku
Hei...aku pagi, apakah pernah kau melihatku? Katakan dengan lantang!
Baca Selengkapnya - HEI...PAGI!

Senin, 18 Juni 2012

BERBISIK DENGAN KESUNYIAN

Tetes demi tetesnya kupunguti
Terbenam wajah pada bulir butirnya
Berlarian hening di dada, mencarimu di langit
"Lihat, tak satu rindu pun di genggamnya!"

Dinding-dinding keras menabrak resah
Desah lirih damai berkelahi dengan angin
Runtuh diri dalam sunyi, kucari kau disini
"Tak ada apa pun di matanya, tidak juga dirimu!"

Ketakutan mulai memamahbiak,
Mengikat ingin pada ceruk di bawah mata
Tak ada hitam menyelimuti malam yang menanti
Sampai tiba kesunyian berbisik, "Kehilanganlah nama tengah kerongkonganmu,"
Baca Selengkapnya - BERBISIK DENGAN KESUNYIAN

Kamis, 14 Juni 2012

SEWAKTU AKU MENZIARAHIMU

Raut wajahku tertinggal disana
Pada malam di ujung keheningan
Saat ketakutan menangkap gelisah
Aku menunggumu hari itu....

Pucat nisan itu kubenamkan di dada
Mengingatkan sekali lagi, "Kita tak pernah ada," 
Biar kubaca lagi jarak-jarak pada rindu yang terbunuh
Masa masih menantang sepi di sela-sela garis takdir

Hari ini aku menziarahimu disini
Segenggam bunga-bunga muda mewangikan telapak tangan
Ingatkah kita pada hari aku membawamu dalam segelas labirin
"Aku menziarahimu sewaktu kau menuliskan namaku pada nisan itu,"  


Baca Selengkapnya - SEWAKTU AKU MENZIARAHIMU

Rabu, 13 Juni 2012

AIRMATA DI BAHUNYA YANG TELANJANG

Berbaliklah,
Lihat gemetar tubuhku
Belum mampu kakiku tegak berdiri
Hangatkan ketakutanku dalam pelukmu

Jangan dulu berlalu,
Ajari aku menjejak langkah
Menidurkan gelisah yang merubuhkan
Perkenankan aku bersembunyi di balik punggungmu

Lelah ku tadah lagi lukamu
Kembali membiarkan perihmu menangkapku
Ambil tetes airmatamu di telanjang bahuku, 
Sekali ini aku ingin menangis di bahu hangatnya


Biarkan aku menunggunya datang
Mengharapnya dalam pelukan tanpa birahi
Hingga kubenamkan kita yang terlampau tua melacur
Demi satu waktu untuk airmataku menetes di bahunya
Baca Selengkapnya - AIRMATA DI BAHUNYA YANG TELANJANG

Selasa, 12 Juni 2012

JANGAN MEMUISIKAN KEMALUANKU!

Jangan ajari kemaluanku bicara
Tak usah penuhi ranjang kita dengan puisi
Kalau kata-kata yang berkeringat disana hanya...
Tentang kemaluanku yang terus kau paksa berkisah

Jangan puisikan kemaluanku,
Segala peluh dan desah biarkan tetap disini
Kau menjerit, pun memekik...biarlah ranjang yang menahu
Tinggalkan kemaluanku pada ruang gelap ini ; menghitamkan ketelanjangan

Sejak malam ini, akan ku puisikan kemaluanmu 
Mengabarkan pada angin malam tentang legamnya persetubuhan
Biar dunia tahu, betapa biadabnya ranjang melacurkan ikatan akad
Sampai terbenam dalam birahimu, "Kemaluanku terlanjur menertawakan setia,"
Baca Selengkapnya - JANGAN MEMUISIKAN KEMALUANKU!

Minggu, 10 Juni 2012

MENANTI BATAS HENING TERLAMPAUI

Aku memilikimu dalam segenggam doa
Mengijinkan ruhmu menutup segala hening
Membiarkanmu meningkahi oranyenya senja
Dan ragaku mengering terserap dahaga merindu

Di seberang jeda jemari tangan,
Wajahku kah yang kau rajuk pada malam?
Yang menguatkan tegak kakimu berlari mendekat
Hingga tegar kau lampaui batas hening di hadapan hati

Selepas malam pada masa renta kali ini,
Bersiap uban mengubur segenap penantian
Melupakan benang-benang asa menunggu jawab
Sampai kita terlepas dari batas jarak, membunuh hening selamanya
Baca Selengkapnya - MENANTI BATAS HENING TERLAMPAUI

Sabtu, 09 Juni 2012

MEMBUNUH WAJAH TAK BERNAMA

Takut membekukan mata
Secawan tawa beriak dalam cibir
Wajah-wajah kalian tak ku kenali
Hinggap menuduh jiwa-jiwa karam

Senja kupaksakan datang
Agar bisa kubenamkan ketakutan
Dalam liang terdalam berkubang murka
Biar kelak mendera usang dalam kaki terdiam

Hei topeng-topeng bisu,
Kemarilah, mari menanak kemuakan
Lihat pada telapak tanganku, wajah kalian kunamai
Disamping sebilah belati berwarna darah, "Kematian tak bernama,"

Baca Selengkapnya - MEMBUNUH WAJAH TAK BERNAMA

Kamis, 07 Juni 2012

SENANDUNG LIRIH LAGU TANPA SYAIR DI GELAPNYA MALAM DAN SEEKOR ANJING HITAM YANG TERTIDUR DIATAS RANJANG


Kusisir helai demi helai rambut  panjangku yang menjuntai sampai ke pangkuan dengan jemari-jemari tangan yang bergetar. Kupandangi wajahku di depan cermin besar yang menggantung diam di dinding kamar sambil bersenandung lirih. Lagu yang sama, lagu yang tiap malam kunyanyikan sayup-sayup saat bercermin dan menyisir rambut. Tak satu pun kerlip lampu di dalam kamarku, tak juga jelas mata mereka memandangku ketika bercermin. Hanya ada diriku sendiri disana, hanya aku yang bisa melihat.
    
     “Kenapa selalu lagu itu yang kau nyanyikan tiap bersamaku?”

Kusisir rambutku dari atas hingga sampai pada pangkuan, pelan. Aku menikmati setiap kali  duduk di depan cermin dan menyisir rambut dalam gelapnya kamar. Terkadang tidak ada tanya yang mengganggu ketika aku bercermin, hanya sesekali terdengar suara mirip gumam tak jelas dan hembusan angin yang menerobos masuk lewat jendela besar disamping tempatku duduk memagut diri.

Aku terus bersenandung lirih. Malas rasanya menghentikan nyanyian dan membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya. Dari kejadian yang sudah-sudah, kelanjutan adegan berikutnya sangat mudah ditebak. Kemarin aku akan menghentikan senandung lirihku, membalik badan, menatap wajahnya dan menjawab pertanyaannya dengan santun. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan bergeming, terus bersenandung tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhku. Dan dari cermin tempatku berkaca, dengan sudut mata kupandangi anjing itu teronggok bisu diatas ranjangku. Tak bergerak. Bulu-bulu hitamnya yang tebal seperti makin menambah gelapnya malam di dalam kamarku. Telinganya yang terbungkus bulu-bulu tipis bergerak naik turun seirama tarikan nafasnya. Moncong hidungnya mengkilat ditimpa sisa lendir yang mungkin di dapatnya dari bagian tubuhku. Entah, bagian tubuhku yang mana. Aku membuang pandangan dari anjing berbulu hitam itu, aku membuang keinginanku untuk ikut berbaring disampingnya, diatas seprai kusut yang masih menyimpan hangat tubuh kami beberapa menit yang lalu. Anjing hitam itu tertidur dengan damai, kedua tangannya memeluk lekat guling itu di dadanya. Ah, hangatnya jika aku ada dalam pelukannya malam ini. Helai-helai rambut yang sebagian menutupi tubuh telanjangku mulai menari ditiupi angin malam. Dingin. Angin malam mulai membuatku ketakutan. Desirnya menyentuh lembut cuping telingaku, bulu kudukku berontak. Kulihat lagi anjing hitam itu dari cermin di depanku. Tidurnya begitu melenakan. Aku ingin ada di sampingnya, luruh dalam buaian bulu-bulu tebalnya, menggulung semua kelelahan, menyerahkan diriku dan memimpikan indahnya cinta yang mungkin ada padanya malam ini. Aku ingin.
    
     “Kau cantik, Nak”

Ibu membelai rambutku dengan lembut ketika kurebahkan diri di pangkuannya malam itu. Senandung lirihnya mulai terdengar di telingaku. Lagu itu, lagu sama yang selalu kunyanyikan tiap malam saat menyisir rambut dengan jemari tangan di depan cermin dalam gelapnya kamarku.
     “Kelak akan banyak laki-laki membayar kecantikanmu dengan ego mereka, Nak. Masa itu tidak akan lama lagi,”

Aku tidak terlalu mendengar apa yang ibu katakan. Kepalaku dipenuhi nada-nada dari lagu yang tadi lirih di nyanyikannya. Lagu itu tidak bersyair, hanya nada yang iramanya mengalun seperti deru ombak di laut lepas pada malam-malam yang di sinari bulan purnama, mengajak mata menerawang menjauhi raga. Lagu itu sudah sedari kecil kudengarkan dari bibir ibu yang menggendongku dalam tubuh telanjang dengan keringat hangat yang menyelimutiku dalam gendongannya. Sering aku terkaget ketika dalam tidur lelapku butir-butir airmata ibu menetes di kedua pipiku yang direngkuhnya dalam pelukan menggigil. Terasa sekali tubuhnya yang bergetar memelukku terlalu erat. Aroma tubuhnya tidak seperti aroma tubuhnya yang biasa ku kenali, ada bau lain di helai-helai rambut, leher dada dan sekujur tubuhnya. Entah, aroma apa dan siapa yang menempel pada tubuh ibu malam itu.

Sejak malam dimana aku mengenali ibuku dengan aroma tubuh yang tidak seperti aroma tubuhnya yang akrab dengan penciumanku, sejak itu pula lagu itu menghipnotis malam-malamku bersama ibu. Bahwa sejak malam itu ibu dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar tempatku terbaring di atas ranjang sendirian dengan tubuh telanjangnya, memelukku erat-erat dengan airmata yang menetes satu-satu, adalah malam dimana aku mulai belajar menjadi dewasa.
    
     “Kenapa aku tidak boleh memelukmu?”

Aku menunduk sebentar, menghindari tatapan matanya, lalu berlalu beberapa langkah mendekati jendela. Dia hendak memulai langkahnya,
    
     “Apakah semalam aku tidak memuaskanmu?” Tanyaku.

Dia membatalkan langkahnya, membuat senyum tipis, dan menjawab,
    
     “Hanya kau satu-satunya perempuan yang membuatku bisa menikmati persetubuhan Ryn,”
     “Dan selama ini tidak pernah ku kecewakan birahimu di ranjang meski tanpa pelukan,”
     “Memang benar….,”
     “Pergilah Dan,”

Dan seperti yang lainnya, kau pun akan berlalu, menjauhiku dan membiarkanku menikmati tegak punggung kalian yang perlahan pudar dari pandangan. Kau datang sewaktu matahari tak bisa menyapa wajahmu, dan sebelum matahari datang, kau sudah tidak lagi denganku. Esok, mungkin kau akan kembali, mungkin juga tidak akan pernah kembali. Yang lain tetap akan datang, meski perlakuan kalian terhadapku sama.

Denganmu dan juga mereka tidak akan merubah kebiasaanku pada malam-malam gelap di dalam kamar. Aku tetap akan duduk berlama-lama di depan cermin dalam tubuh telanjang, menyisir rambut dengan jemari tangan sambil berdendang lirih sampai datang pagi, sampai kalian menghilang. Aku harus tetap terjaga saat kau ada di atas ranjangku. Bercermin dan bersenandung di samping jendela besar yang menghitamkan malam-malamku adalah pilihan yang tidak lagi bisa kutawar dengan hal lain.

Aku tidak boleh menyerahkan diri pada ranjang berseprai kusut yang beberapa jam lalu telah menjadi tempat kita membakar birahi dalam tubuh telanjang yang saling mengejar nikmat. Aku tidak akan merebahkan diri di samping seekor anjing berbulu hitam yang sedang pulas dalam tidurnya. Sebesar apa pun kantuk datang menyerang, aku harus bertahan. Aku tidak mungkin bisa tertidur dengan pikiran yang penuh dengan rasa jijik sewaktu membayangkan moncong hitamnya yang berlendir itu menyentuh leher, dada atau mulutku. Aku tidak mau. Aku memilih untuk duduk telanjang di depan cermin sambil menyisir rambut panjangku dengan jemari tangan, bersenandung lirih dengan lagu yang selalu sama dan berharap pagi bisa datang lebih cepat.

Apa yang kulakukan dan pikirkan saat di depan cermin di malam-malam gelap tidak pernah sedikit pun berubah sejak ibu meninggalkanku untuk selamanya. Helai-helai rambut yang kusisir dengan jemari tangan, yang panjangnya sudah sampai pada pangkuanku, adalah malam-malamku berbicara dengan ibu. Ibu meninggalkan banyak cerita pada helai-helai rambutku yang selalu dibelainya tiap malam sewaktu ibu masih hidup. Sebesar apa pun keinginanku untuk bisa tidur disamping laki-laki yang terlelap di ranjangku, sebesar itu pula aku harus membunuh keinginanku. Aku hanya merasa harus duduk bersenandung menatap malam dari luar jendela kamar sambil menyelimutkan rambut panjangku pada sebagian tubuh telanjangku, mengubur jauh-jauh keinginanku akan pelukannya.
    
     “Kita tidak boleh memeluk laki-laki yang datang pada kita, Nak,”
     “Kenapa tidak boleh Bu?”
     “Kelak kau akan menemukan sendiri jawaban dari pertanyaanmu itu,”

Tiba-tiba ada hening diantara kami. Ibu memandang jauh ke depan dalam tatapan kosong. Aku masih berharap ibu menjawab pertanyaannku.

     “Apakah ibu juga tidak memeluk laki-laki?”
     “Pernah sekali, dan itu kesalahan besar yang pernah ibu lakukan,”

Tak ada penjelasan lagi tentang pertanyaanku itu di kemudian hari. Tiap kali aku bertanya tentang alasan ibu untuk hal yang dilarangnya itu, tiap kali juga aku tidak pernah mendapatkan jawaban dari ibu.

Sampai suatu saat tanpa sengaja aku melihat ibu memeluk erat seorang laki-laki yang tidak ku kenal dari dalam kamarnya. Kedua tangan ibu melingkari punggung laki-laki yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari ibu. Mereka berpelukan lama sekali. Ibu melanggar ucapannya sendiri! Aku kecewa pada ibu. Kemarahanku memuncak, aku merasa perlu bereaksi dengan pengkhianatan ibu padaku. Emosi membuatku hendak membuka lebih lebar pintu kamar ibu yang sedari tadi tidak tertutup rapat. Baru saja hendak kubuka pintu kamar ibu lebih lebar, ketika tiba-tiba kudapati seekor anjing berbulu hitam legam berada persis di kepala ibu. Anjing hitam itu mengibas-ngibaskan ekornya dengan moncongnya yang basah, lalu mulutnya terbuka lebar. Ibu masih memeluk laki-laki itu dengan erat, ada sedikit senyum di bibirnya. Laki-laki itu memeluknya dalam seringai yang sulit kutebak artinya. Mata laki-laki itu menatap ibuku dengan pandangan yang sangat aneh. Kedua tangannya yang memeluk tubuh ibuku penuh dengan bulu-bulu hitam legam dan kuku-kukunya yang runcing itu nyaris menusuk punggung ibuku. Aku hendak meneriaki ibu, tapi mulutku gagu dan tubuhku kaku. Anjing itu mencakar-cakar kepala ibu, menumpahkan liurnya di sekitar wajah ibu. Ibu diam saja. Ibu tersenyum!

Secepatnya aku berlari ke kamar meninggalkan ibu dengan laki-laki berbulu hitam tebal yang memeluknya dengan kuku-kuku tajamnya. Perutku terasa mual sekali menyaksikan pemandangan yang membuat perasaanku bercampur aduk,  bingung, marah, heran dan benci. Aku bingung, tak menahu ada apa sebenarnya dengan ibu. Apa yang sudah ibu lakukan, kenapa ibu diam saja ketika anjing hitam legam itu mulai mencakar-cakar tubuhnya dengan jemarinya yang dipenuhi kuku-kuku tajam? Lama aku bergelut dengan semua kebingunganku, berhari-hari mengurung diri di dalam kamar, menjauhi ibu. Sampai akhirnya malam itu ibu menghampiriku di kamar.
    
     “Perempuan seperti ibumu ini tidak boleh berharap, Nak…karena harapan yang menghampiri, datangnya selalu bersamaan dengan penderitaan,”

Pandangan mata ibu menerawang jauh, entah ke masa yang mana. Di bawanya kepalaku bersandar di pangkuannya.
    
     “Perempuan seperti kita benar-benar tidak boleh memeluk laki-laki yang datang pada kita. Ketika kita memeluk mereka, ketika itu juga kaki-kaki kita patah, jari-jari kita terlepas, kepala kita pecah berkeping-keping di udara dan hati kita hancur tak berbentuk,”

Suara ibu bergetar, aku tak berani menghentikan ucapan ibu.
    
     “Kita ini hanya pelacur Nak, tempat laki-laki membuang nikmat di pangkal pahanya. Semalam dipakai, selebihnya tak pernah diingat,”

Ibu menangis.
    
“Kalau saja sedari dulu ibu tidak pernah membiarkan tubuh ibu dipeluk laki-laki, mungkin ibu tidak akan pernah mengerti seberapa kotor dan hinanya pekerjaan ibu,”

Tangis ibu pecah. Butir-butir airmatanya menetes sampai pada luka-luka menganga berwarna merah yang ada di sekujur tubuhku. Perih. Tapi aku tak mampu merintih kesakitan, tidak juga mampu menangis. Seluruh tubuhku lemas. Aku tersungkur di bawah kaki laki-laki itu. Helai demi helai rambut panjangku terlepas dari kulit kepala, berhamburan satu persatu menyentuh lantai dan terbawa angin malam. Luka itu bertambah banyak dan memenuhi tubuh telanjangku yang mulai berwarna merah karena darah yang terus mengucur dari setiap luka yang ada.

Laki-laki itu memelukku. Menghujaniku dengan mimpi tentang sebuah rumah kecil dengan taman bunga yang bermekaran di pagi hari dengannya dan dengan diriku yang tidak lagi telanjang. Mataku berhias wajah-wajah mungil dua anak kecil yang sedang berlarian di atas rumput hijau yang membungkus halaman kecil rumah indah itu. Aku tidak lagi telanjang, aku bukan pelacur. Aku perempuan yang mempunyai seorang suami dengan dua anak dan rumah mungil bertaman bunga. Rambutku tak sepanjang cerita-cerita ibu yang penuh dengan kisah muram dan sedih. Aku memiliki semua yang dimiliki perempuan lainnya. Aku bukan pelacur, aku punyai semuanya.

     “Tidurlah, aku harus pulang malam ini. Besok aku akan kemari lagi,”

Kuku-kuku runcingnya yang sedari tadi membelai tubuhku dengan lembut tiba-tiba menusuk tajam menembus kulit dan nadiku. Mulutnya memanjang ke depan, moncong hitamnya berkilatan dengan lendir. Taring-taringnya mencabik-cabik tubuhku. Aku tersungkur penuh luka memerah. Perih. Kucoba mencari rumah mungil, taman bunga, dua wajah anak kecil dan laki-laki itu kesana kemari. Kutengok ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang, tak ada apa pun. Tak ada satu pun terlihat di mataku. Hilang.

Hanya ada anjing berbulu hitam di depanku. Anjing hitam itu terus mencabik-cabik tubuhku dengan biadab. Kemaluannya mengencingi mukaku yang penuh dengan gurat luka cakar. Aku diam, tak mampu melawan, segala daya upayaku memuai. Kakiku patah, jari-jemariku  terlepas satu-satu, kepalaku pecah berkeping-keping di udara dan hatiku hancur tak berbentuk. Sekali lagi aku berusaha mencari sosok laki-laki yang tadi memeluk tubuhku dengan erat, aku mencarinya. Tanganku yang tak lagi berjemari, menggapai-gapai ke udara, dimana dia? Pagi sudah datang, tapi mataku tak bisa melihatnya di ruangan ini.

     “Kau melakukan kesalahan pertamamu, Nak,”

Aku tersentak. Suara dan sosok ibu tiba-tiba hadir di hadapanku.
Aku menangis tersedu.

     “Kita terlanjur kalah, Nak,”
     “Aku hanya ingin merasakan pelukannya Bu, sekali saja…,”
     “Menangislah kalau kau ingin menangis,”
     “Ibuuuu…………………..,”

Ibu memelukku dengan penuh kasih. Tangisku pecah di bahunya.

     “Aku melihat surga ketika aku memeluknya, Bu…,”
     “Aku menginginkan surga itu, Bu…,”

Ibu tidak berbicara, hanya pelukannya terasa makin erat.

     “Surga tidak pernah ada untuk pelacur seperti kita, Nak…Surga yang kau lihat saat memeluknya akan begitu saja terpendar saat pelukannya harus berakhir di pagi hari. Dia akan kembali pada dunianya yang benderang, dunia yang tak kita kenali. Dan kita akan berakhir lagi disini, sendiri menunggunya kembali dengan harapan dan mimpi, sampai terbunuh waktu yang tak pernah lagi membawanya kembali pada kita,”

Dalam perih yang masih terasa sampai malam ini, aku terus bersenandung di depan cermin besar di samping jendela besar dalam tubuh telanjang sambil menyisir rambut panjangku yang sudah sampai di pangkuan dengan jari-jari tangan yang bergetar. Senandung lagu yang sama, lagu tanpa syair. Dan jauh di dalam cermin tempatku berkaca, anjing hitam itu tergolek di ranjang berseprai kusut yang masih menyimpan hangat sisa bara tubuh kami selepas bercinta beberapa jam yang lalu. Bulu-bulu hitam di tubuhnya semakin legam menutupi sekujur tubuhnya. Moncong hitamnya masih mengkilat karena lendir yang menempel disana. Aku masih seorang pelacur yang tiap malam dalam ketelanjangannya menunggu pagi datang dengan senandung lirih lagu tanpa syair ; tak lagi menginginkan pelukan dari anjing-anjing hitam yang datang padaku, tak lagi ingin bermimpi tentang surga yang tak pernah ada.

Baca Selengkapnya - SENANDUNG LIRIH LAGU TANPA SYAIR DI GELAPNYA MALAM DAN SEEKOR ANJING HITAM YANG TERTIDUR DIATAS RANJANG

Rabu, 06 Juni 2012

MENUNGGU KEMARAU BERLALU

Senandungku terhenti,
Sunyi seketika tanpa bisik
Tak satu helai rambutmu menemani
Entah dimana terakhir kali jejakmu menapak

Secawan lamunanku rebah,
Meraba resah, memunguti bayangmu
Segala penjuru rindu mencibir gundahnya mau
Hatiku hambar menakar rasa, engkaukah pemilikku?

Silau mentari berebutan membakar bekunya rindu
Aku terkapar bersama harap yang lama mati tanpa kubur
Berlalulah keringnya rasa, usir kemarau dari pucat hatiku
Akan terus kunanti gerimis membasuh, membawanya kembali lagi
Baca Selengkapnya - MENUNGGU KEMARAU BERLALU

Selasa, 05 Juni 2012

(KATAMU) SUNDAL

Bibirku semerah darah,
Benderang mengalahkan malam
Merobohkan redup mata yang menista
"Hei, ini aku sundal binal, terus menggigil dalam senggama,"

Mataku mengkilat seterang bintang,
Kilaunya menyembunyikan gelisah tak berkesudahan
Nyaris tak dilihat malam, tapi terus menghias kegelapan
"Lihatlah sundal ini, masih saja merintih sewaktu terjamah," 

Cacilah sekujur tubuh ternodaku,
Yang terlacur dari pandangan mata kalian
Makilah tubuh menggigil penuh rintihan ini,
Yang masih berharap pulang saat kalian menutup semua pintu!




Baca Selengkapnya - (KATAMU) SUNDAL

Sabtu, 02 Juni 2012

SENYUM DI BAWAH PAYUNG HITAM

Gerimis membawa berteduh
Tubuh tak hendak memeluk titik-titik air
Satu malam lagi bisu menemani raut muka
Entah kapan ingatan membawa pulang cerita

Dingin menampar butir-butir bening dari kedua mata
Bayangan kemarin mulai berjatuhan dalam keheningan
Garis halus pada telapak tangan lari mencari jalan pulang
Di bawah payung hitam terpendar senyuman, mengejar kenangan

Nyanyian gerimis terbungkam tangisan
Remuk belulang menanti pelukan, satu masa terpenjara
Bilakah ada lagi semusim kisah tersimpan rapi dalam keranjang
Tak juga berlarian bersama gerimis, hanya menyisa pucatnya malam
Baca Selengkapnya - SENYUM DI BAWAH PAYUNG HITAM

Jumat, 01 Juni 2012

BERPULANG PADA MALAM

Sejak kupilih hening
Tubuh ini memeluk kesendirian
Di belai kerasnya setumpuk kisah
Gelap malam masih jadi tegaknya tonggak

Sejak kubuat semua mematung
Raut wajah tanpa ceritanya hilang
Mungkin tertinggal begitu saja pada aspal
Tak satu pun jejak bisa kupunguti, tak menyisa

Payung-payung malam tetap memagut takdir
Mencibir lidah-lidah mereka yang menjilati tahta
Semua merebut mau dalam dagu mencumbu langit
Dan masa itu kembali, "Sudah saatnya berpulang pada malam,"




Baca Selengkapnya - BERPULANG PADA MALAM