Senin, 30 April 2012

WAJAH TANPA TANYA

Mereka disana,
Dalam senyum penuh ajakan
Dengan tubuh setengah telanjang
Masyuk menjamu kemaluan semalam
Menidurkan akad pada ranjang berderit

Mereka terikat disana,
Pada lingkaran hitam birahi terlarang
Dalam desah lirih biasnya kenikmatan
Memaksa tawa ketika nista meyelimuti
Mengingkari kotornya kemaluan, membakar kelak

Mereka akan sampai disini,
Dengan mulut tanpa sepatah kata
Dalam wajah yang tak mampu bertanya
Terbunuh sendiri oleh benih-benih pucat
Surga tak akan menghampiri rahim yang tergadai!
Baca Selengkapnya - WAJAH TANPA TANYA

Minggu, 29 April 2012

KEMBALI KEPADA KEMARIN

Jauh sudah kubujuk ragu
Menipu pilu yang terlanjur biru
Banyak langkah di buru ambigu
Lalu kemana mengadukan haru?

Pernah ku sembunyikan wajah
Mengusir serangkaian serapah
Berharap kaki berhenti melangkah
Tak satu pun kembali berbalik arah

Duhai esok,
Kini aku tak lagi ingin menengok
Tak juga hendak menagih takdir berkelok
Aku akan pulang pada kemarin, melupa esok
Baca Selengkapnya - KEMBALI KEPADA KEMARIN

Sabtu, 28 April 2012

PELACUR YANG BERSOLEK UNTUK REMBULAN

Jangan jamah tubuhku
Malam ini aku tak mau telanjang
Jangan keraskan kemaluanmu
Malam ini aku tak ingin mengerang

Malam ini saja,
Biarkan aku menatap tubuhku tanpa noda
Satu malam saja,
Perkenankan aku tak menjual nikmatnya pangkal paha

Aku akan bersolek untuk rembulan
Mengharap waktu menghentikan gelapnya takdir
Meminta alam memelukku yang lelah di sendirikan
Aku pelacur yang menyisa harap,  "Kemaluan mereka tak seharusnya hadir!"
Baca Selengkapnya - PELACUR YANG BERSOLEK UNTUK REMBULAN

Jumat, 27 April 2012

PEREMPUAN YANG MENYEMBUNYIKAN AIRMATA

Aku pulang selepas malam,
Membawa tubuh penuh noda
Berharap lampu kota tak bersinar
Bermimpi satu pintu terbuka untukku

Aku hilang bersama malam,
Mencaci wajah berpulas warna-warni
Bersembunyi dari temaramnya rembulan
Bergumam lirih, "Aku tak lagi mengenali diri,"

Kucari cinta pada kemaluan yang terjual
Mengharap waktu terhenti seketika itu juga
Aku menunggu akad saat tubuh dipikat ranjang
Menghitung mundur ketika jiwa kehilangan rumah

Pada pagi, kusembunyikan noda
Pada malam, terus kutorehkan nista
Tubuhku terlanjur melacur, hilang dalam kelam
Airmataku berteriak, "Jangan sembunyikan aku dibawah ranjang!"
Baca Selengkapnya - PEREMPUAN YANG MENYEMBUNYIKAN AIRMATA

Kamis, 26 April 2012

POHON-POHON BESAR YANG TUMBANG DI BAWAH BANTAL DAN DI DEPAN PINTU KAMAR DENGAN BANYAK ALASAN


     Kubuka jendela kamar lebar-lebar, aku ingin sekencang-kencangnya udara dari luar menggantikan pengabnya suhu kamarku. Dengan sigap juga, cepat-cepat ku buka seprai berwarna abu-abu gelap ini dari kasur, membuka juga sarung bantal dan gulingnya. Harus segera diganti dengan yang masih bersih. Aku tidak mau keringat laki-laki itu menempel lagi ditubuhku, meski dari selembar seprai yang beberapa jam lalu jadi alas kami bercinta. Kulemparkan begitu saja seprai, selimut, sarung bantal dan guling ini ke mesin cuci dan memutarnya lama-lama disana, tak boleh ada baunya yang tertinggal lagi pada seprai itu. Buru-buru juga ku pasangkan seprai baru yang ku ambil dari lemari dan membungkuskannya pada kasur dan bantal gulingnya. Nyaris selesai…, ku hampiri rak bukuku di samping pintu kamar dan mencari pewangi ruangan yang kuletakkan di bagian atas rak bukuku itu, lalu menekan tombol manualnya disana. Kurebahkan tubuhku diatas kasur dan kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Wangi pengharum ruangan mulai tercium, hhmmm…lega rasanya.
     Keringat sisa panasnya persetubuhanku beberapa jam lalu dengan laki-laki itu masih menempel di sebagian tubuhku, kening, leher, belahan dada, punggung dan pinggang. Pada kening, leher, dada, punggung dan pinggangku pula aroma tubuh laki-laki itu menempel. Begitu ingatanku sampai di situ, aku panik, secepatnya aku masuk ke dalam kamar mandi dan menghujani sekujur tubuhku dengan air hangat yang mengucur deras dari mulut shower. Berkali-kali kugosokkan spon yang sudah kugenangi dengan sabun cair pada sekujur tubuhku. Aku tak mau ada jejaknya pada tubuhku. Aku jijik!
     “Kau betul-betul perempuan yang bisa memuaskan aku, Leks,”
Kemaluannya yang menciut belum juga di keluarkannya dari dalam tubuhku. Pergilah dari tubuhku, aku sudah tidak membutuhkanmu.
     “Tapi kau bukan laki-laki yang bisa memuaskan aku, Ndra!”
     “Mungkin karena aku terlalu capek hari ini, Leks…”
     “Mungkin…,”
     “Tapi aku pernah membuatmu puas khan Leks?”
     “Selama ini…belum pernah,”
     “Kamu serius Leks?”
     “Iya,”
Wajahnya yang baru beberapa menit lalu seperti wajah seorang raja tamak yang memenangkan tahta dengan culas tiba-tiba berkerut-kerut sedemikian rupa. Entah kenapa. Tapi setidaknya karena obrolan barusan, akhirnya kemaluannya terlepas dari tubuhku. Lega.
     “Benarkah selama ini aku belum pernah memuaskanmu Leks?”
Tubuh telanjangku yang baru saja lega mengatur nafas di atas lembabnya kasur karena keringat yang membasahi, seketika merasa begitu bertenaga, begitu ingin beranjak. Ketika kulirik dengan ujung mataku dan kudapati pohon-pohon besar yang besar batangnya tak cukup dengan dua pelukan terentang orang dewasa itu tumbang, terjungkal dan diam terpasung di bawah bantal disamping tempatku berbaring. Bantal itu menutupi kepala pohon yang lebat bercabang dengan daun-daun besar berwarna hijau. Pohon itu begitu besar, rasanya terlalu memalukan kalau pohon sebesar itu tiba-tiba tumbang dan menyembunyikan raut mukanya di bawah bantal.
     “Pulanglah, aku mau tidur cepat malam ini,”
Dikeluarkannya kepalanya dari bawah bantal yang sedari tadi menjadi benteng persembunyiannya.
     “Bolehkah sekali ini aku menginap disini Leks? Aku ingin menemanimu semalaman,”
     “Tidak boleh,”
     “Kenapa Leks, apa karena aku tidak pernah bisa memuaskanmu?”
     “Aku tidak suka tidur dengan orang asing,”
     “Leksa, aku ini bukan orang asing. Nyaris tiap minggu aku kesini untuk bercinta denganmu, kenapa kau sebut aku orang asing?”
Aku malas menjawab rengekan laki-laki yang memang tidak pernah kukenal selain kemaluan dan tubuh telanjangnya yang sok perkasa tiap kali menyetubuhiku. Ku ambilkan kemeja dan celananya yang tercecer di lantai saat saling mencumbu tadi. Kulemparkan diatas ranjang dan kuhempaskan tubuhku pada sofa kecil di depan rak tv, mencari remote dan menyalakan tv dengan setengah hati, ayo…segeralah pergi!
     Hampir tiap kali Indra dan laki-laki lain yang sengaja ku undang kemari untuk bercinta denganku selalu kuperlakukan tak lebih dan tak kurang seperti perlakuanku pada Indra. Dan reaksi mereka juga belum ada yang sama sekali berbeda dengan reaksi Indra, meratap, penasaran, mengharap, sekaligus kehilangan nyali di waktu yang sama. Hanya karena jawabanku tentang kemaluan mereka yang tidak bisa memuaskanku, nyaris seluruh harga diri mereka terbuang. Garis-garis wajah mereka akan turun beberapa senti, dan mata mereka seperti tak punya keberanian untuk menatapku. Mulut mereka pun akan tiba-tiba terkunci rapat,  kehilangan nyali untuk berdebat dengan penolakanku terhadap mereka.
     Aku begitu kecanduan pada reaksi mereka. Aku tidak pernah mencari kepuasan dari kemaluan-kemaluan mereka, tapi aku memburu garis-garis wajah dan kecewa yang terbaca pada mata mereka. Aku bisa tiba-tiba mengalami kepuasan luar biasa, ketika dengan kepala tertunduk dalam-dalam, mereka berlalu meninggalkanku sendiri, tepatnya setelah aku mengusir mereka. Aku puas ketika mereka menyembunyikan wajah dan membuang harga diri mereka di bawah bantal hanya karena sebaris kalimatku tentang ketidakpuasaanku bercinta dengan mereka.
     “Jangan tinggalkan aku,”
     “Sudahlah Leksa, pergilah… dan jangan pernah lagi kemari,”
     “Tapi aku mencintaimu Restu, aku ingin selamanya tinggal disini denganmu,”
     “Aku sudah tidak membutuhkanmu Leksa, ini sudah sangat cukup. Aku bosan denganmu,”
     “Katamu kau mencintaiku Res?”
     “Itu dulu, dulu sekali. Sekarang aku mencintai perempuan lain,”
Aku tumbang. Tanganku yang bercabang kemana-mana hingga nyaris menyentuh langit, tiba-tiba mengering, retak dan patah satu-satu, berguguran pada tanah yang terbungkus katun bercorak. Aku tak mampu menatap wajah Restu, laki-laki yang kucintai, laki-laki yang membuatku tumbuh subur penuh cabang dan berakar kekar dengan cinta.
     “Kenapa baru sekarang kau bosan padaku Restu?”
     “Kau sudah tidak bisa memuaskan gairahku di ranjang Leksa. Terlalu banyak kewajiban ini itu yang kau bawa di ranjang ketika kita bercinta. Selalu kau ceritakan ini itu tiap kali kita hendak bercinta. Aku muak dan bosan dengan itu, ikatan, tanggungjawab, semuanya begitu menyesakkan. Aku tak bisa lagi bergairah denganmu,”
Aku mengering, kulit coklatku betul-betul mongering, mengelupas bagian demi makian, runtuh menjamah tanah. Seluruh bagian tubuhku luruh dan jemari-jemari tanganku yang bercabang sampai nyaris menggapai langit memaksaku tumbang. Aku tenggelam di bawah bantal, tak lagi berani menatap Restu, tak ingin mengucap apa pun lagi. Aku tumbang.
     “Leksa, kemarilah…,”
     “Ada apa?”
     “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memelukmu,”
Aku tidak menatapnya, tidak juga meliriknya. Telingaku merasa asing ketika mendapati permintaannya. Ini tidak biasa, dia tidak pernah melakukan itu setelah kami mengakhiri pergumulan di atas ranjang.
     “Aku hanya ingin kita berpelukan dan mendengarkan ceritamu,”
Aku diam. Tak sedikit pun bergerak, menengok pun tidak. Aku selalu disini tiap kali selesai bercinta, di sofa menikmati siaran tv yang sama sekali tidak kutahu sedang menyiarkan apa.
     “Aku terlalu sering menceritakan hidupku. Kali ini aku ingin mendengar tentang kisah hidupmu. Kemarilah Leksa,”
     “Cepatlah pulang, waktumu sudah habis. Aku ingin sendirian,”
     “Aku masih punya banyak waktu Leksa, bahkan untuk menemani selamanya disini,”
     “Aku tidak memerlukanmu selama itu,”
     “Mungkin…, sudahlah…kemarilah, peluk aku,”
Kakiku mulai mengeluarkan akar-akar kecil dari sela-sela jemari. Begitu juga tanganku, akar-akar itu tumbuh sangat pendek, tapi tumbuhnya bersamaan.
     “Apakah kau tahu namaku Leksa?”
Mulutku terkunci.
     “Biasanya kau menyebutku laki-laki hari Senin, karena aku selalu menemuimu tiap hari Senin. Tapi itu bukan namaku. Apakah kau mau tahu siapa namaku?”
     “Pulanglah, ini bukan rumahmu dan aku tidak pernah butuh teman ngobrol,”
Aku meninggalkannya, menuju dapur dan membuat secangkir kopi. Kuperhatikan akar-akar kecil yang tumbuh di sela-sela jemari kaki dan tanganku. Hanya karena dia menyediakan waktu dan kepalanya untuk mendengarkan kisah hidupku, akar-akar ini sudah tumbuh. Bodoh! Aku harus mencongkel akar-akar itu dengan pisau dapur. Dan aku mulai mencongkelnya dengan ujung pisau yang runcing. Aku tidak mau akar-akar itu menjadikanku pohon yang kian hari kian besar, berakar dan bercabang karena banyak harapan, waktu dan mungkin cinta yang diberikannya saat ini dan beberapa saat ke depan. Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah mau menjadi pohon besar yang tumbuh menyentuh langit, lalu tiba-tiba di tumbangkan begitu saja olehnya.
     “Cepat, pulanglah!” Aku menghampirinya dikamar dan berteriak sekencang-kencangnya. Histeris. Dia tersentak kaget. Menatapku sebentar lalu buru-buru memunguti pakaiannya.
     “Tenanglah Leks,”
     “Cepat pergi dari sini, aku muak!”
 Dia melirikku dengan tubuh gemetaran ketika mendapati sebilah pisau di tanganku. Ternyata pisau yang kupakai mencongkeli akar-akar di sela-sela jemariku tadi masih kugenggam erat-erat.
     “Iiiyaaa Leksa….,”
     “Cepat!”
Dengan buru-buru, dipasangnya kemeja dan celana panjangnya sambil sesekali melirik siaga ke arahku.
     “Namaku Pambudi Widagdo, aku suka membaca. Aku bisa membacakan buku tiap kali kau hendak tidur. Aku ingin mengenalmu Leksa,”
Mulutnya yang kurang ajar, seenaknya mengeluarkan kalimat-kalimat yang kembali membuat akar-akar yang tadi ku congkeli tumbuh lagi.
     “Pergiiiiiiiiiiiiiiiiii…..!”
Wajahnya langsung pucat pasi mendengar teriakanku. Kepalanya menunduk dalam-dalam menatap lantai. Buru-buru dia tinggalkan kamar tanpa berani lagi menengok padaku. Pohon besar itu tumbang, daun-daunnya rontok memenuhi lantai, akar-akarnya mencabut tanah basah dan menghitamkan sebagian lantai yang tertutup dedaunan. Pohon besar itu kali ini tidak tumbang di bawah bantal, tapi di depan pintu kamar.   
Baca Selengkapnya - POHON-POHON BESAR YANG TUMBANG DI BAWAH BANTAL DAN DI DEPAN PINTU KAMAR DENGAN BANYAK ALASAN

IBU KEMANA...?

Aku membuka pagi tanpa puting susu
Tak ada pelukan, menimang-nimangku
Aku mencarimu kemana-mana,
Di atas ranjang, pada pangkal paha bapak
Hanya tersisa bau keringatmu di tubuhnya
Kau kemana, Bu...?

Senja menyelimutiku tanpa senandung lirih
Tak ada bisikmu, menenangkan kantuk
Aku kehilanganmu dimana-mana,
Di bawah selimut, pada ketelanjangan bapak
Hanya terdengar nafas tak teraturnya
Kau ada dimana, Bu...?

Sebelum suamiku bangun, 
Tak lama setelah bapakmu usai menggumuliku 
Aku harus menyiapkan secangkir kopi untuknya
Sepulang suamiku bekerja,
Saat kemaluan bapakmu mengeras diatas tubuhku
Aku harus segera menghangatkan makan malamnya


Ibumu tak kemana-mana, Nak
Sejak akad mengikat kedua kakiku, aku tetap disini
Tak jauh dari pangkal paha suamiku yang mengeras 
Hanya bisa mengangguk meski kerap ingin mendongak 
Menunggu bentukku pudar, sampai akad dilepaskannya
Lalu bebas, meski terlunta dalam tubuh yang tak lagi muda
Baca Selengkapnya - IBU KEMANA...?

Rabu, 25 April 2012

TAK PERNAH ADA

Aku mencarimu
Memanggil dengan hati kalut
Mengharap dalam deras airmata
Kau tak ada.....

Aku menunggumu
Melupakan berkali malam berlalu
Membuat diri menggigil ketakutan
Dan kau tak juga ada.....

Dengan siapa resah harus kubagi
Menghadap kemana airmata ini mengucur
Tak terasakah olehmu hatiku mulai terguncang
Atau memang sebenarnya kau tak pernah ada?




Baca Selengkapnya - TAK PERNAH ADA

Selasa, 24 April 2012

BICARA PADA SENJA

Senja,
Duduklah disini bersamaku
Menemani renta tubuh repuh ini
Mungkin hendak kau hibur kebisuan?

Lihatlah luas halaman mereka disana
Penuh benih-benih mekar dan tumbuh
Pagi terisi sejengkal demi sejengkal asa
Seperti menggenggam surga di telapak tangan

Senja...kita selalu bersama disini,
Berdua saling menghibur diri dalam sepi
Berdampingan menunggu mereka datang
Dan tetap bergandengan melepas kehilangan

Tak banyak yang kita mau,
Kau ingin dia ada menggantikanmu ketika pagi
Dan aku berharap, pagi menemaniku benderang
Aku takut..sama seperti ketakutanmu, tak berani bertemu pagi
Baca Selengkapnya - BICARA PADA SENJA

Senin, 23 April 2012

BIDADARI BERGINCU UNGU

Tubuhku melayang
Merajut nelangsa di atas ranjang
Terbungkam mau diantara erangan
Menukar wajah dalam pasung kenikmatan

Tak satu pun ingin ku ingat,
Senggama berpeluh keringat
Birahi dalam gelinjang tubuh telanjang
Ingatan hanya membuat takdirku kian jalang

Malam membuatku lupa,
Lupa saat tubuh mencipta noda
Melupa ketika mereka melacurkanku
Pekat malam membuat kaku tubuhku tabu

Lihatlah bidadari bergincu ungu ini,
Bibirnya kelu tanpa kata, malu menyebut nama
Mata bulatnya kelam di tengah malam, buta menatap diri
Dalam gelap menghias rupa dalam raga tak bernyawa, terlunta memunguti cinta
Baca Selengkapnya - BIDADARI BERGINCU UNGU

Minggu, 22 April 2012

BERANDA YANG RUNTUH

Senja hadir di telapak tangan
Melupakan embun-embun pagi
Meningkahi sisa gerimis berlalu
Sejumput cerita terlepas dari genggaman

Beranda membuai lamunan tak panjang
Sekilas kunang-kunang datang menghalang
Berbekaslah rindu-rindu kelabu yang mematung
Karma terus bersembunyi dbawah meja tak berlaci 

Pada pangkuan yang enggan bernyanyi
Kata-kata itu rebah, gugur bersama musim
Adakalanya kita bersandar pada tuanya masa
Menipu rasa, terlanjur bicara di beranda yang runtuh
Baca Selengkapnya - BERANDA YANG RUNTUH

Sabtu, 21 April 2012

MELATI DI BAWAH BANTAL

Aku menemanimu hari ini
Menyimpan lekat dalam benak
Dalam pijak-pijak kaki, berpulang pada senja
Rasakan aroma tubuhku di bawah bantal kapas

Sampai pada perjumpaan semalam
Saat berita tak pernah menyapa bathin
Ketika tak satu pun kata berukir kerinduan
Kau dan aku melupa senggama dalam keheningan

Bintang-bintang pengikat malam,
Pertemukan kami teruntuk seikat kenangan
Sewaktu melati di bawah bantal meningkahi resah
Saat satu persatu musim jatuh di pangkuan, kami merindu perih
Baca Selengkapnya - MELATI DI BAWAH BANTAL

Jumat, 20 April 2012

SIAPA AKU, MAK?

Aku melihatmu, Mak
Telanjang diatas tubuh laki-laki itu
Menari penuh birahi, mencacah harga diri
Tubuh telanjang itu bukan tubuh bapakku!

Aku mendengar lenguh nafasmu,
Semalaman berisik memenuhi ranjang berderit
Mendesah dalam gairah, melupa sumpah terikad
Laki-laki telanjang itu bukan suamimu, Mak!

Rahim siapa yang dulu ku tinggali?
Puting siapa yang waktu itu ku hisap?
Siapa aku, Mak...dari senggama tanpa doakah aku terlahir?
Dari puluhan tubuh lelaki telanjang itukah kucari bapakku?  
Baca Selengkapnya - SIAPA AKU, MAK?

Kamis, 19 April 2012

AKU DISINI, BIANG

Biang, lihat kuku jariku...
Semalaman aku menggigitinya
Kulipat dalam kepalaku pada dada
Tak lagi berani kupandang Biang dari sini
Aku ketakutan Biang...aku teramat ketakutan

Biang berteriak,
Kata Biang, raut mukaku selalu memancing amarah
Aku hadir sebelum di maui, tak juga mati ketika tak di harap
Aku juga membenci diriku, Biang...
Bencimu padaku membuatku menggigil sendiri disini

Disini aku menjauh darimu, Biang
Menepi di dalam heningnya kaca tanpa cermin
Aku melihatmu menguburku dalam pengingkaran
Aku mendengarmu menampar wajahku dengan makian
Biang, aku disini...mengharapmu ada untukku yang terus kau tiadakan
Baca Selengkapnya - AKU DISINI, BIANG

Selasa, 17 April 2012

RUMAH TANPA BULAN

Adakalanya kita marah,
Pada rembulan yang membawa malam
Karenanya kita terpendar dalam kerlip
Seperti kunang-kunang, bersinar setitik

Lalu sepanjang masa menanti,
Dengan ceruk hitam di bawah mata
Senantiasa memagut tunduk pada gelisah
Tak ubahnya musim tanam, kerap gagal petik

Ingin kurebut bulan jauh disana
Kuminta duduk berlama-lama dengan pagi
Sampai gerimis datang meluruhkan masa merasa
Hingga kita tersudut di satu masa tanpa kesunyian ; rumah tanpa bulan
Baca Selengkapnya - RUMAH TANPA BULAN

Senin, 16 April 2012

KENANGAN PADA TELAPAK TANGAN

Pulanglah,
Kembali bercermin pada dua muka
Memulakan awal dalam pertemuan akhir
Kita terlanjur lupa, aku tak ingin tersenyum

Tak lagi ada sisa rasa,
Dulu pun tak akan pernah kembali
Bercerminlah pada pucatnya kuku jemari
Kita sudahi cerita, kau tak harus kembali

Malam ini pergelangan kaki kita terikat
Lautan menatap dalam gelombang setinggi dada
"Aku mencarimu dengan kenangan di telapak tangan,"
Garis-garis takdir tak pernah mempertemukan harapan


Baca Selengkapnya - KENANGAN PADA TELAPAK TANGAN

Minggu, 15 April 2012

TUBUH-TUBUH TELANJANG DAN SELIMUT KUSAM MOTIF BUNGA DI KAMARKU

     “Jangan merk itu bang, nanti gatal-gatal aku,”
Alis matanya bertemu, sudut bibirnya terbuka sedikit. Aahh, rupanya egonya mulai berteriak.
     “Beneran bang, dulu mantan pacarku pernah pakai merk itu. Gatal-gatal aku dibuatnya,”
Dibuangnya tatapan sinisnya pada bungkus-bungkus kondom yang berjejer warna-warni di rak-rak untuk deretan obat sebuah minimarket dekat kostku. Segera kuambil satu pak kondom berwarna hijau dan menyeretnya ke meja kasir. Mukanya masih saja cemberut. Laki-laki bodoh!
Kutarik tubuhnya menjauhi minimarket setelah kondom itu kumasukkan ke dalam saku celananya, berat sekali menarik setumpuk ego ditambah berat tubuhnya yang hampir dua kali lipat berat tubuhku. Akhirnya pintu kamar kostku sudah di depan mata. Kubuka pintu itu dan buru-buru juga ditutupnya pintu kamarku. Baru saja kumulai satu langkah, tapi ditariknya tanganku. Di dekatkanya tubuhku dengan tubuhnya yang menjulang tinggi di hadapanku. Tangannya keras meremas dadaku, tak satu pun bagian tubuhku terlewat dari tangan dan bibirnya. Telanjang menelanjangi, gumul menggumuli, dia menyetubuhiku dengan beringas, sangat bergairah. Nafasnya memburu, lidahnya membasahi batang leherku, dan akhirnya kemaluannya ang terbungkus karet kondom merasuki tubuhku tanpa ampun. Selimut kusamku yang menyelimuti ranjang terpaksa berlarian kesana kemari mengikuti maunya. Dan kemaluannya muntah membasahi selimutku. Meninggalkan bercak-bercak noda kental dimana-mana, pada motif bunga-bunga merah jambunya. Kusam, selimutku pucat, terlipat-lipat dengan garis-garis tak beraturan. Pudar dalam beberapa menit, lalu diam tanpa kata.
Dia terbaring lunglai, seperti setumpuk sayur bayam di pasar induk. Tubuh telanjangnya mengatur nafas ; mengatur egonya yang terlanjur muntah dalam senggam tak lama. Aku memulas senyum, ku ambil sebatang rokok dan membakarnya.
     “Mantan pacarmu itu tidak akan bisa memuaskanmu seperti aku memuaskanmu malam ini,”
Tawaku meledak begitu saja. Bunga-bunga pada selimut kusamku tiba-tiba bermekaran, putik warna kuningnya terlihat jelas. Rupanya selimut kusamku ikut tertawa, tawa yang sama kerasnya dengan tawaku, sampai tumbuh duri-duri tajam dari tangkainya.
Tak lagi terdengar satu kata pun dari mulutnya, hanya dengkuran panjang yang mengganggu telingaku. Dia terbaring dengan kepala pada kakinya, semua yang sampai pada mata, telinga, hidung dan mulutnya mulai di injak-injak oleh kakinya sendiri. Duri-duri tajam pada bunga-bunga di selimut kusamku mulai menusuk-nusuk kakinya. Dia tak bergerak, hanya terus mendengkur. Duri-duri tajam dari tangkai bunga-bunga pada selimut kusamku menusuk kakinya lebih dalam. Dan,
     “Tidak Sayang, aku tidak bohong. Weekend ini memang ada pertemuan dengan klien dari Korea,”
Sekali lagi aku tertawa keras, sampai igauannya tak berlanjut dan terpaksa kudengarkan lagi dengkurannya yang mengganggu telingaku. Rokok-rokok ini harus kubakar, aku tak mau berlama-lama merasa bersalah karena kehadirannya disini. Bukan, bukan aku yang memintanya datang kemari untuk menyetubuhiku dan membuat mulutnya berbohong pada istri dan anak-anaknya. Bukan! 
     Dia bukan laki-laki pertama yang membuat pucat selimut kusam di kamarku. Bukan juga laki-laki beristri yang pertama menumpahkan harga dirinya dengan kemaluan yang mengeras lalu lemas terkulai disini. Dan aku pun tentu bukan perempuan pertama yang mereka setubuhi dengan puluhan alasan bodoh. Aku tidak pernah minta uang dari mereka, jadi aku bukan pelacur. Aku juga tidak pernah meminta mereka menikahiku, jadi aku bukan perempuan murahan yang merelakan tubuhnya disetubuhi untuk mengikat mereka dengan akad perkawinan. Atau aku ini perempuan jalang yang kemaluannya sering gatal dan butuh dipuaskan? Tidak, aku tidak pernah mendahului persetubuhan dengan cumbuan yang membuat kemaluan mereka mengeras. Tidak juga merasa puas hanya karena cairan kental itu luber dari liang kemaluanku.
     “Aku merindukanmu,”
     “Aku tidak,”
     “Ayolah…jujurlah padaku sekali ini saja, Mars,”
     “Jawabanku itu jujur,”
Ditindihnya tubuh telanjangku. Lama dia perhatikan mataku. Tubuh telanjangnya yang masih penuh dengan keringat terlihat mengkilat di bawah sinar lampu. Diciumnya bibirku, dilumat. Kubalas ciumannya. Lama.
     “Ciuman bibir itu isi hati manusia yang sebenar-benarnya, Mars,”
Kata-katanya seperti pernah kudengar dari percakapan di film-film barat yang pernah kutonton. Dia masih mencari jawaban dari kedua mataku dengan penuh harapan.
     “Kata siapa?”
     “Kataku dan kata kebanyakan orang,”
     “Dan kau sudah membuktikan kebenarannya?”
     “Selama ini, iya. Tapi belum kudapatkan kebenarannya darimu,”
Setelah malam itu, dia terus mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang tak pernah ingin kujawab. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan melankolis dari laki-laki yang hanya ku kenali kemaluannya. Untuk apa menjawab pertanyaan mereka ketika mereka mulai merasa memilikiku, memiliki tubuh telanjangku. Tidak ada keharusan untuk menyerahkan diriku pada mereka yang datang dan pergi hanya untuk melabuhkan kemaluannya, lalu berlalu begitu saja ketika hatiku mulai kuserahkan. Kelopak bunga-bunga selimutku mulai rontok satu-satu. Bunganya yang berwarna merah, memudar. Bunganya yang berwarna kuning menutup diri, kuncup. Setelah persetubuhan dengan mereka, tak ada yang bisa memeluk tubuhku. Tak satu pun dari mereka. Hanya kita yang berbincang, tertawa, saling mengejek, menangis lalu kembali pada diri masing-masing. Aku dengan diriku sendiri dan kau dengan bunga-bunga, duri-duri dan warna-warni juga kusut kusamnya dirimu diatas ranjang.
     Sejak aku memutuskan untuk disini, tanpa siapa pun, meski mereka terus hadir dan berlalu, datang dan pergi, aku tak pernah mengutuk diriku. Aku berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pernah kukenali. Berhenti untuk menunggu kehilangan datang dan merampas satu persatu anggota tubuhku. Sejak itu aku memulai segalanya disini hanya dengan selembar selimut kusam bermotif bunga. Sering kali noda mengotori kelopak-kelopak bungamu, sesering duri-durimu mengabarkan kebenaran padaku tentang mereka yang datang hanya untuk berbagi kelamin dan beberapa yang hendak membuang sauh lalu menyerah pada keangkuhan yang memagari remuk redamnya hatiku.
     Tak ada yang bisa kupercaya selain selimut kusam di kamarku yang selalu kupeluk erat dengan airmata dan tawa diantara kemaluan-kemaluan mereka yang memintaku jujur di antara pergumulan birahi. Kerap kali aku menggigil ketakutan setelah pergumulan semalam tanpa satu pun pelukan menenangkan. Terkadang tawa kerasku juga lumer begitu saja ketika kebenaran demi kebenaran itu terjawab tanpa perlu kutanyakan.
     “Mars, menikahlah denganku,”
     “Ibumu tidak menyukaiku,”
     “Rebutlah hatinya,”
     “Kenapa bukan hatinya yang kau minta merebut hatiku?”
Diam. Menunduk. Berlalu dan tak pernah lagi kembali mengucap cinta.
Aku menunggumu disini dengan selimut kusamku yang bunganya enggan mekar, sama-sama merasakan cemas dan gundahnya menanti.
     “Kenapa tidak kau ambil uang pemberianku?”
     “Aku tidak sedang menjual kemaluanku padamu,”
 Dagunya terangkat. Senyumnya sinis. Berlalu dan kepalanya terinjak-injak oleh kakinya sendiri. Aku disini, memeluk erat selimut kusamku, bunganya masih enggan mekar, tapi duri-duri tajamkeluar dari leher tangkainya, senang rasanya bisa menyakiti otak yang hanya sekecil biji kemaluannya.
     Sudahlah, kita akan selalu disini selimut kusam motif bungaku. Murunglah bersamaku, tertawa keras-keras denganku di waktu-waktu yang tak pernah berjeda. Aku tak akan kemana-mana, akan tetap disini denganmu, mempersilahkan mereka datang dan pergi, merampas harga diri mereka yang ku kencingi hanya dalam semalam, lalu meludahi mereka dengan noda-noda yang mereka tinggalkan. Biarkan mereka datang dan pergi, singgah dan berlalu, seperti ombak yang datang bergulung-gulung, lalu pupus.
     “Apakah kau tidak ingin memeiliki satu diantara mereka?”
     “Tidak,”
     “Kau tidak takut sendirian, kesepian dan tidak memiliki siapa-siapa?”
     “Aku memilikimu. Bunga-bunga dan duri-duri tajammu masih tetap menemaniku,”
     “Pilihlah satu diantara mereka, Mars. Aku hanya selembar selimut yang serat-serat kainnya retas perlahan dimakan waktu. Bisa tercabik-cabik dan terburai, lalu terbuang. Tak mungkin selamanya bisa menemanimu,”
Aku terdiam. Menundukkan kepala dalam-dalam pada dadaku yang sesak dan, .....aku menangis.

Baca Selengkapnya - TUBUH-TUBUH TELANJANG DAN SELIMUT KUSAM MOTIF BUNGA DI KAMARKU

Jumat, 13 April 2012

PELACUR DALAM TANDA TANYA

Aku pelacur,
Menggigil ketika malam hadir
Terjungkal sewaktu mencari pelukan
Lalu terbenam air mata dari kemaluan mereka

Aku sundal,
Gemetar dalam tubuh telanjang
Di tertawakan noda-noda tertinggal
Lalu menjauhkan mimpi dari pagi di balik nista

Aku pelacur,
Memunguti cinta dari tubuh-tubuh tanpa rasa
Aku sundal,
Mengais pelukan pada pergumulan tak berakad

Apakah aku pelacur,
Ketika kuminta cinta tapi kemaluanmu yang mengeras?
Apakah aku sundal,
Sewaktu ku mau pelukan tapi tubuhku yang kau kangkangi?
Baca Selengkapnya - PELACUR DALAM TANDA TANYA

Kamis, 12 April 2012

SELIMUT KUSUT

Kau jilati sekujur tubuhku
Meninggalkan bekas nafas
Membangun sejarah pada waktu yang rebah
Aku menamaimu ; kehadiran

Tubuhmu menggauliku dalam birahi
Menggumuliku diantara desah tak terasa
Membiarkan musim berlalu pada hari yang pucat
Aku memanggilmu ; keharusan

Dalam tubuh berpeluh keringat
Ketika kemaluan tak lagi mengingat jarak,
Tak sehelai benang pun merajuk pada tubuh
Seperti selimut kusut, menguap dari punahnya harapan
Baca Selengkapnya - SELIMUT KUSUT

Rabu, 11 April 2012

WAJAH TANPA RAUT MUKA

Airmataku menetes
Terus membasahi malam
Bibirku kelu tanpa kata
Tak satu pun doa terlepas

Jamah buah dadaku
Telaga tempatmu mengawali hidup
Rajam kemaluanku
Muara asalmu bermula di dunia

Lupakan wajahku,
Lumat habis tangisan ini
Gunakan saja tubuhku,
Tak perlu cari wajahku ; pelacurmu ini tak pernah bermuka!
Baca Selengkapnya - WAJAH TANPA RAUT MUKA

Senin, 09 April 2012

MEMILIH REBAH

Kita rebah,
Terbawa arus kemarau
Di bungkam tanya tanpa jawab
Dan mulai berhenti percaya kata

Kita gundah,
Tertawa di depan danau
Berlarian kesana kemari bersama airmata
Dan berharap semua bisa menjadi berarti

Kita terhenti,
Tersadar bersama langkah tanpa jejak
Di sandera ketakutan, mereka dan mimpi
Sekuat kita ingin melupa, sekuat itu tubuh memilih rebah
Baca Selengkapnya - MEMILIH REBAH

Sabtu, 07 April 2012

KACA YANG BERCERMIN PADA ANGGREK TAK BERAKAR DI DINDING HALAMAN BELAKANG

     Aku mengamati punggungnya yang khusyu’ membungkuk dari kejauhan sini. Tulang-tulang punggungnya tercetak pada kemeja coklat mudanya. Sedikit sekali gerakannya yang bisa kunikmati dari tempatku berdiri sekarang. Bahkan dinginnya semilir angin malam pun tak mampu mengusiknya. Sesekali saja kulihat bahunya bergerak pelan, sesekali kudapati lengannya menghilang dari pandangan. Rambut kelabunya yang selalu rapi dan wangi, berkilauan ketika bertemu cahaya lampu taman di halaman belakang. Kakinya yang panjang dan kurus, kakinya yang kusukai, tak sejengkal pun bergeser. Selama itu, aku tak mampu melihat wajahnya.
     Kusandarkan tubuh pada kursi rotan beralas bantal merah. Langit begitu pekat, ada beberapa bintang jauh disana berkerlap-kerlip. Kurapatkan sweater hitam pada tubuhku, sambil kusembunyikan kedua tanganku di dalamnya. Mataku tak lepas memandangnya. Hampir tiap malam dia selalu disana, sibuk bercengkrama dengan anggrek-anggrek kesayangannya,  Berjam-jam waktunya habis disana, mengajak anggrek-anggreknya bercerita tentang dirinya yang sangat merindu, menangis sesenggukan ketika rindunya semakin tak tertahan untuk berpulang pada masa lalu. Kadang suara tawanya terdenger lirih ketika anggrek-anggrek itu berbunga, terkadang airmatanya menetes ketika beberapa helai daun anggrek itu layu menguning. Aku merindukannya.
     “Bagaimana anggrek-anggrekku?”
     “Sepertinya baik-baik saja,”
     “Bisakah kau kirimkan fotonya padaku sekarang?”
     “Disini hujan, Pram,”
     “Ada payung…,”
     “Baiklah, apakah kau baik-baik saja disana?”
     “Jangan matikan telponnya Nad,”
Aku melangkah keluar dengan payung dan handphone di tangan. Hujan terlalu deras diluar, aku tak mau jatuh terpeleset gara-gara sandal, jadi kulupakan untuk memakai sandal. Kakiku mulai menyentuh rumput-rumput yang basah diguyur hujan. Semoga tidak ada cacing menjijikkan yang mampir di kedua kakiku. Sesekali kuangkat celana panjangku yang melorot dari gulungan. Dan…ini dia, deretan pot-pot anggrek yang kau gantung rendah sebatas pinggang pada sebagian dinding di halaman belakang. Kujepit payung sekenanya, mulai menyiapkan kamera handphone dan jebrettt…jebrettt…jebretttt, beberapa foto sudah ku ambil. Hujan makin membasahi sebagian tubuhku. Bibirku menggigil dipaksa hawa dingin dan hujan yang bertubi. Aku pun segera berbalik dan memasuki rumah.
     “Nad…,”
     “Iya Pram, sebentar…”
     “Sudah kau foto khan? Sudah kau kirimkan belum Nad?”
     “Aku masih basah kuyup, aku ganti baju dulu ya,”
     “Nanti saja ganti bajunya, kirimkan sekarang ya, kutunggu,”
     “Tapi…,”
     “Aku tunggu Nadia,”
     “Iya Pram…”
Tiba-tiba hangat mengaliri tubuhku yang basah kuyup. Tubuhku bergetar, tanganku juga bergetar. Kubuka file foto anggrek-anggreknya dari handphone, dan segere ku kirimkan foto-foto itu padanya.
     Kutanggalkan begitu saja seluruh bajuku yang basah di lantai bersama handphone yang tak lagi menyisakan suaranya disana. Dengan tubuh telanjang kulangkahkan kaki perlahan ke dalam rumah. Kesana kemari…kesini kesana…kuputari hampir seluruh ruangan. Tubuhku hangat, tubuhku terus bergetar. Aku tak sanggup lagi melangkah. Tersungkur begitu saja di atas karpet tebal coklat tua di ruang tengah. Kepalaku rebah di lengan kiriku yang lembab. Hangat it uterus menetes dari kedua mataku. Ku pejamkan mata.
     Pot-pot plastik hitam itu ada tiga belas buah ; pot pertama berisi anggrek yang wajahnya bulat telur, bermata lebar dengan bola mata coklat dan bibir tipis tanpa lipstik. Anggrek itu berisi bahumu, tempatnya bersandar berlama-lama ketika kalian saling berkisah tentang sepanjang hari di musim kemarau penuh hujan dan lampion warna-warni yang membawamu pada dirinya ketika hari tak pernah sibuk dengan rutinitas kerja. Cinta. Kalian saling mencintai begitu dalam tanpa gundah. Tak memerlukan bisingnya keinginan akan ini itu. Tercukupkan dengan kalian.
Pot kedua berisi anggrek berwajah penuh senyum, pada bibir yang tak pernah kehabisan cerita. Rambutnya selalu terikat tinggi-tinggi, ada matamu disana, menghiasi helai demi helai rambutnya. Matamu tak pernah jengah menatap tingkahnya yang membangkitkan seluruh saraf bahagiamu. Surga selalu ada diantara kalian, seperti satu halaman paling luas yang penuh dengan tawa yang terus menerus, tak terhentikan.
Pot ketiga, ke empat, kelima,………semuanya penuh dengan dirimu, jemarimu, bibirmu, telingamu, semuanya…sekujur tubuhmu terpenggal-penggal disana, dengan dia, dengannya, mereka.
     Hanya satu pot anggrek paling ujung, beberapa jarak dari sekian anggrek yang kau tata rapi, yang tak berisi dirimu. Wajahnya bening, tembus pandang, tapi tak berakar. Kaca itu menempel pada dinding di halaman belakang, berkaca pada tubuhmu.
     “Kemarilah, peluk aku…,”
     “Nanti…,”
     “Berapa lama lagi aku harus menunggumu?”
     “Putarlah dulu film-film favoritmu di dalam sana, nanti kutemani,”
     “Film-film itu sudah ku tonton semua,”
     “Tadi kubelikan kau beberapa buku, ada di ruang kerjaku. Ambil dan bacalah,”
Akar-akar anggrek berwajah bening itu tak pernah tumbuh. Mungkin pernah sekali dua kali tumbuh tak sampai setengah senti, tapi rontok begitu saja di tiup angin semilir. Sekali lagi berakar, dan titik-titik hujan mematahkan akar-akarnya lagi.
     “Nad, untuk apa sih kamu terus hidup dengan laki-laki setua itu?”
     “Iyah Nad, tinggalin sajalah. Tuh si Atar masih punya tenaga untuk menyayangi kamu,”
     “Ayolah Nad, percaya sama kita-kita. Dengarkan kami!”
     Tubuhnya mulai berbalik arah. Perlahan meninggalkan anggrek-anggreknya. Dengan tubuh agak membungkuk, langkah tertatih dan mata yang tampak begitu lelah. Aku berdiri menunggunya di sini, mendapati gurat-gurat wajahnya yang menua terbaca lampu-lampu taman. Aku mencintaimu. Tangannya menggapai bahuku, memelukku erat-erat. Lama. Ku usap-usap punggungnya yang kaku setelah lama membungkuk, menghidupkan anggrek-anggrek dalam pot-pot di halaman belakang. Pelukannya makin erat. Kuusap kepalanya, lembut. Bibirku membisiki telinganya dengan suara bergetar,
     “Selamat hari jadi yang ke tiga puluh lima, Pram,”
     “Nadia…,”
     “Ssstt…,”
Airmatanya jatuh pada bahuku, menetes satu-satu. Tubuhnya bergetar hebat.
     “Selamat hari jadi yang ke tiga puluh lima juga Nadiaku sayang,…”
Aku mencium rambut kelabunya yang wangi. Kucium lagi. Dan lagi, dalam pelukan kami yang lama.
     Bagiku, mencintaimu di antara kenangan-kenangan yang terus kau pelihara subur dalam ruangan yang teramat sempit untuk kita, kerap begitu menyakitiku. Tak lagi banyak yang akan ku katakana, karena aku terlalu lelah memaksakan diri berada pada pot-pot anggrek penuh kenanganmu. Aku tak lagi mampu menyakitimu dengan cintaku, ketika begitu kejamnya waktu telah memasungmu disana, merampas kemudaanmu dan menggantikan dirimu dengan tubuh renta, rambut beruban, gurat-gurat tua dan mata yang terus saja menetes ketika kau menjadikanku kaca bening yang bercermin dalam pot anggrek tak berakar di halaman belakang. Aku tak akan lagi mencoba menumbuhkan akar-akarku pada tubuhmu yang tak lagi utuh untuk menemaniku. Biarkan aku menjadi kaca bening yang tembus pandang untukmu, terkadang tak terlihat, tapi masih bisa memantulkan keberadaannya ketika sedikit cahaya dari tetes airmatamu mencariku manakala lelah membuatmu pulang padaku.     
    
      
         
    
Baca Selengkapnya - KACA YANG BERCERMIN PADA ANGGREK TAK BERAKAR DI DINDING HALAMAN BELAKANG

Jumat, 06 April 2012

MENARI TANPA KAKI

Semilir angin memintanya gugur
Rendah merebah pada tanah
Lirih memindahkan senja

Sajaknya tumpah di atas bukit
Luntur membasahi selarik doa
Hening ditimang pangkuan

Sejak pagi aku menunggu disini
Melupakan wajah-wajah tertinggal
Di jauhi kerlap-kerlip kunang-kunang

Aku berkaca pada belati
Berani mengurung kendali
Menyerah untuk janji ; menari tanpa kaki
Baca Selengkapnya - MENARI TANPA KAKI

Kamis, 05 April 2012

MENYEDUH SENJA

Kemarilah,
Duduk di sampingku
Berdua menyeduh senja

Di bibir laut ada kita
Sedang memarahi ombak
Memukulnya dalam urai airmata
Seusai lara bercerai, pelangi berlagu

Di halaman rumah kita,
Bunga-bunga mewarnai mata
Gerimis sesekali menggenangi akar
Jari-jari kecil ini menggigil, merinduimu

Lihatlah,
Senja yang kita seduh beranjak kelam
Mari berkemas, menyelimutkan pagi pada telapak kaki
Baca Selengkapnya - MENYEDUH SENJA

Rabu, 04 April 2012

KUPU-KUPU KERTAS

Gemeresak berisik dalam beliak
Kusut susut dan tersayat
Terbang kesana pada satu sandar
Berkata hambar bahwa pudar takkan berbekas

Tunduk pundak bak abdi raja
Berderak menghantam genta tak habis cibir
Meninggi pada bianglala warna yang luruh
Tergulung derasnya cadas keniscayaan

Membumbunglah pada julang langit
Indahmu dibicarakan
Warnamu menyilaukan
Apakah mampu kau meninggi kalau kau kertas yang kusam?

Bilur balur melulu kabur
Pongah kalah melelah dan resah
Karma sama juga berbunga
Lamakah kau menarik kalau kau hanya kupu-kupu?

Biduk harap masih berderap
Cembung dalam telikung kelok-kelok takdir
Tetap berdoa, meminta dan mengancam...
Kupu-kupu ini belum ingin kusut meski hanya kupu-kupu kertas
Baca Selengkapnya - KUPU-KUPU KERTAS

Selasa, 03 April 2012

MIMPI-MIMPI YANG PULANG MEMENUHI RAHIM BERISI NISAN-NISAN PUCAT

     Pecahan beling itu mulai menusuk-nusuk dinding rahimku. Perih rasanya di dalam sana. Tuhan, berikan lagi satu kekuatan untukku kali ini. Ini bukan proses kelahiran pertama yang kualami, aku pasti bisa melaluinya dengan biasa saja. Aku pasti bisa. Tak perlu berkeluh kesah, tak usah juga ada airmata, ini bukan yang pertama!. Ku usap-usap perutku dengan perlahan, berulang dan ku usap lagi. Berpuluh nafas panjang kubuang dalam dengus yang tidak tenang. Aaahhh…segeralah lahir, jangan menggangguku selama ini, aku sudah muak.
     “Dalam setahun ke depan kita akan punya satu rumah di komplek perumahan mewah itu Sayang, ini benar-benar luar biasa!” Dengan semangat dan jemari tangan yang menunjuk kesana kemari tanpa jeda, kau muntahkan semua kegembiraanmu di ruangan sempit yang penuh sesak dengan  mimpi-mimpimu yang kau bawa pulang. Aku pusing melihatmu yang tak henti-hentinya bergerak kesana kemari. Tubuhku yang rebah lunglai pada kursi di ruangan ini dengan menahan sakit sedari tadi tidak kau pedulikan. Dagumu begitu menjulang, aku tak bisa melihat wajahmu dari tempatku duduk. Dan aku malas mencari wajahmu, ruangan ini sudah terlalu membuatku gugup kalau harus kupaksakan diri untuk menghadirkanmu.
     Tiap kali kau pulang dengan mimpi-mimpimu yang kau bawa pulang, tiap kali pula hatiku menjerit. Tak pernah ada ruang yang cukup untuk kita, untukmu dan untukku saja. Selalu ada mimpi-mimpimu dan orang-orang lain yang kau bawa pulang. Aku tak pandai mengingat, bukan  karena aku bodoh, hanya saja aku malas mengingat siapa saja teman-temanmu yang kau kenalkan padaku. Yang kuingat hanya suara dan tawa mereka yang sama nada dan bunyinya dengan suara dan tawamu, suara-suara yang bisa membuatku merinding.
     “Ini Arya yang kuceritakan padamu waktu itu, Sayang,”
     “Gara-gara keuletan Pram inilah, tender-tenderku mulus. Kau mengingatnya khan, Sayang?” Tidak! Aku tak mengingat satu pun dari mereka yang kau kenalkan padaku sedari kau menceritakannya. Aku tidak ingin mengenal mereka.
     Rasa sakit makin menggila di dalam rahimku, pecahan-pecahan beling itu seperti makin menusuk-nusuk. Aku tak mampu lagi duduk bersandar dengan tenang. Sesekali punggungku harus membungkuk dengan tangan mencengkram perut kuat-kuat. Sepertinya proses kelahiranku kali ini akan lebih cepat dari yang dulu-dulu. Duh, Gusti…andai saja ibuku masih ada. Aku harus berdiri. Aku ingin dirimu. Aku inginkan pelukanmu. Dimana kau? Mataku tiba-tiba gelap, tubuhku ringan seperti kapas, melayang-layang dan tiba-tiba, bbbuuuuummmmm..!
Aku terjatuh di lantai. Tak ada yang bisa kulihat, semuanya gelap. Tubuhku tergeletak begitu saja pada lantai yang dingin. Mataku terbuka pelan-pelan. Mulutku terkatup rapat. Apakah aku pingsan? Ataukah sudah mati? Oh tidak Tuhan….jangan sekarang. Aku coba untuk menggerakkan kaki dan tanganku bersamaan. Bisa! Aku belum mati. Terimakasih Tuhan. Aku harus berdiri. Aku ingin dirimu. Kucoba untuk berdiri. Rasanya sangat berat untuk menarik tubuhku dari lantai ini. Kucoba lebih keras lagi untuk berdiri. Tidak bisa! Ada apa ini? Dimana aku? Kenapa tiba-tiba aku terjatuh di lantai dan tidak bisa berdiri lagi meski tangan dan kakiku bisa kugerakkan?
     Pelan kugerakkan leherku ke kiri dan kanan. Kau masih di sana, berdiri tegak di bawah lampu hias yang menyala warna-warni. Masih mondar-mandir dan mulut yang terus bersuara. Aku bisa melihat dan mendengarmu, tapi sekujur tubuhku tak bisa kugerakkan, apalagi untuk berdiri.
     “Kau tahu Sayang, beberapa dealer mobil besar di kota ini mulai memberikan katalog-katalog mobil mereka yang di bawa sales managernya hari ini. Aku tinggal memilihnya,”
Jemari-jemari tanganku terus berusaha menggapaimu dari bawah sini. Kucoba terus untuk mengangkat tubuhku. Tak bisa. Aku berusaha berteriak memanggil namamu. Berteriak sekeras-kerasnya, sampai rasanya kering sekali tenggorokanku. Tapi kau tetap meracau dengan semangat yang tak kendur sedikit pun. Sesekali tertawa terbahak-bahak, lalu melompat-lompat bahagia. Kenapa kau tak mendengar aku memanggil namamu?
     Tiba-tiba perih yang teramat sangat mulai merajam dinding rahimku lagi. Kali ini lebih hebat lagi sakitnya. Tolonglah aku, Mas…aku kesakitan. Sepertinya sekaranglah saatnya. Aku selalu melahirkan di tempat ini. Berkali kucoba menjauhi tempat ini ketika waktuku melahirkan mendekat, berkali juga benih dari tubuhku terlahir diruangan ini. Diantara kesakitan yang teramat sangat ketika hendak melahirkan, di dekatku juga kau selalu ada. Dari sekian proses melahirkan, kau tetap ada di sampingku. Kau yang membuatku harus melahirkan! Aku mulai meneriakimu, lebih keras dari sebelumnya. Entahlah ini teriakanku yang ke berapa, aku menyerah untuk berteriak lagi. Airmataku menetes satu-satu. Pipiku mulai hangat oleh airmata. Kaki dan tanganku terentang lunglai, membisu di lantai ruangan ini. Rasa sakit itu sudah tidak lagi bisa kurasakan. Tubuhku tak bergerak, mulutku terkatup dan aku menangis.
     Suaramu makin lamat ku dengar. Tubuhmu makin pudar dalam pandanganku. Tubuhku menggigil, bergetar pelan dan makin cepat. Kraaakkkkk…kraaaaakkkk…suara itu akhirnya datang lagi. Kucoba menutup mataku pelan-pelan dan menikmati bunyi itu dengan telinga dan kedalaman hatiku. Perih itu tidak lagi bisa kurasakan, meskipun kemaluanku mulai sobek, kraaaakkkkkk...Darah menyeruak dengan derasnya. Darah. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku, hangat menyeruak tak terbendung. Tubuhku masih menggigil, tapi keringat yang mengucur ini begitu hangat. Aku memanggilmu lirih. Tak sekali pun kau menengok padaku. Dan dari kemaluanku keluarlah apa yang sedari dulu selalu keluar dari kemaluanku dalam beberapa kali proses kelahiran yang ku alami. Tak ada sakit yang kurasakan ketika nisan-nisan itu keluar dari dalam kemaluanku yang robek. Satu…dua…empat, kali ini empat nisan dari batu berwarna kusam dan terlihat pucat yang keluar dari dalam rahimku.
     “Apa yang kau inginkan, Sayang?”
     “Aku menginginkan dirimu yang dulu,”
     “Aku masih laki-laki yang sama, laki-laki yang kau cintai dan mencintaimu,”
     “Kau semakin berbeda dari hari ke hari,”
     “Itu hanya perasaanmu saya, Sayang,”
     “Kau tidak pernah lagi membiarkan aku bicara,”
     “Bicaralah sekarang kalau kau mau, aku akan mendengarkanmu,”
     Aku tidak pernah lagi bicara sejak semuanya terlambat untuk kita. Tak pernah lagi. Aku sibuk mendengarkan semua isi kepalamu. Aku berusaha keras mengingat teman dan kolega-kolegamu. Kau terus mengajakku masuk pada duniamu yang penuh dengan ambisi. Kau sibuk berlari seorang diri. Tak pernah lagi kita menghabiskan waktu bersama hanya untuk duduk berlama-lama diruangan ini untuk melihat film-film yang kita suka tanpa harus memenuhi hari dan ruangan kita dengan semua hal dan orang-orang yang tidak ingin kukenal. Sejak itu aku menganggapmu tidak ada. Sejak itu aku dan kita menjadi nisan-nisan tanpa kubur di dalam rahimku. Sejak itu, aku membunuh semua tentang kita yang tak pernah lagi kau isi dengan diriku, dirimu ; kita. Sejak itu, tiap kali kau pulang membawa mimpi-mimpimu, tubuhku menolak lagi untuk menerimamu. Kita terus terpendar dalam jarak yang membentang sekian waktu tanpa pernah kau sadari. Aku tak pernah lagi mengenalmu, mungkin juga begitu denganmu. Rasa sakit yang terus terasa ketika hidupmu penuh dengan semua hal yang tidak ku kenali, memaksa tubuhku menyimpan benih-benih amarah dan kekecewaan yang kian menggerogoti tubuhku. Aku muak menjadi orang asing di depanmu dan aku benci ketika semua mimpi-mimpimu menelanmu bulat-bulat hingga menjadi laki-laki aneh bagiku. Aku menguburmu tidak jauh, masih disini…di dalam rahim yang terus melahirkan nisan-nisan pucat bertulis namamu dan nama kita. Kita sudah lama mati, Sayang.  
           
Baca Selengkapnya - MIMPI-MIMPI YANG PULANG MEMENUHI RAHIM BERISI NISAN-NISAN PUCAT