Kubuka jendela kamar lebar-lebar, aku
ingin sekencang-kencangnya udara dari luar menggantikan pengabnya suhu kamarku.
Dengan sigap juga, cepat-cepat ku buka seprai
berwarna abu-abu gelap ini dari kasur, membuka juga sarung bantal dan
gulingnya. Harus segera diganti dengan yang masih bersih. Aku tidak mau
keringat laki-laki itu menempel lagi ditubuhku, meski dari selembar seprai yang
beberapa jam lalu jadi alas kami bercinta. Kulemparkan begitu saja seprai,
selimut, sarung bantal dan guling ini ke mesin cuci dan memutarnya lama-lama
disana, tak boleh ada baunya yang tertinggal lagi pada seprai itu. Buru-buru
juga ku pasangkan seprai baru yang ku ambil dari lemari dan membungkuskannya
pada kasur dan bantal gulingnya. Nyaris selesai…, ku hampiri rak bukuku di
samping pintu kamar dan mencari pewangi ruangan yang kuletakkan di bagian atas
rak bukuku itu, lalu menekan tombol manualnya disana. Kurebahkan tubuhku diatas
kasur dan kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Wangi
pengharum ruangan mulai tercium, hhmmm…lega rasanya.
Keringat sisa panasnya persetubuhanku
beberapa jam lalu dengan laki-laki itu masih menempel di sebagian tubuhku,
kening, leher, belahan dada, punggung dan pinggang. Pada kening, leher, dada,
punggung dan pinggangku pula aroma tubuh laki-laki itu menempel. Begitu
ingatanku sampai di situ, aku panik, secepatnya aku masuk ke dalam kamar mandi
dan menghujani sekujur tubuhku dengan air hangat yang mengucur deras dari mulut
shower. Berkali-kali kugosokkan spon yang sudah kugenangi dengan sabun cair
pada sekujur tubuhku. Aku tak mau ada
jejaknya pada tubuhku. Aku jijik!
“Kau betul-betul perempuan yang bisa
memuaskan aku, Leks,”
Kemaluannya
yang menciut belum juga di keluarkannya dari dalam tubuhku. Pergilah dari tubuhku, aku sudah tidak
membutuhkanmu.
“Tapi kau bukan laki-laki yang bisa
memuaskan aku, Ndra!”
“Mungkin karena aku terlalu capek hari
ini, Leks…”
“Mungkin…,”
“Tapi aku pernah membuatmu puas khan
Leks?”
“Selama ini…belum pernah,”
“Kamu serius Leks?”
“Iya,”
Wajahnya
yang baru beberapa menit lalu seperti wajah seorang raja tamak yang memenangkan
tahta dengan culas tiba-tiba berkerut-kerut sedemikian rupa. Entah kenapa. Tapi
setidaknya karena obrolan barusan, akhirnya kemaluannya terlepas dari tubuhku.
Lega.
“Benarkah selama ini aku belum pernah
memuaskanmu Leks?”
Tubuh
telanjangku yang baru saja lega mengatur nafas di atas lembabnya kasur karena
keringat yang membasahi, seketika merasa begitu bertenaga, begitu ingin
beranjak. Ketika kulirik dengan ujung mataku dan kudapati pohon-pohon besar
yang besar batangnya tak cukup dengan dua pelukan terentang orang dewasa itu
tumbang, terjungkal dan diam terpasung di bawah bantal disamping tempatku
berbaring. Bantal itu menutupi kepala pohon yang lebat bercabang dengan
daun-daun besar berwarna hijau. Pohon itu begitu besar, rasanya terlalu
memalukan kalau pohon sebesar itu tiba-tiba tumbang dan menyembunyikan raut
mukanya di bawah bantal.
“Pulanglah, aku mau tidur cepat malam
ini,”
Dikeluarkannya
kepalanya dari bawah bantal yang sedari tadi menjadi benteng persembunyiannya.
“Bolehkah sekali ini aku menginap disini
Leks? Aku ingin menemanimu semalaman,”
“Tidak boleh,”
“Kenapa Leks, apa karena aku tidak pernah
bisa memuaskanmu?”
“Aku tidak suka tidur dengan orang asing,”
“Leksa, aku ini bukan orang asing. Nyaris
tiap minggu aku kesini untuk bercinta denganmu, kenapa kau sebut aku orang
asing?”
Aku
malas menjawab rengekan laki-laki yang memang tidak pernah kukenal selain
kemaluan dan tubuh telanjangnya yang sok perkasa tiap kali menyetubuhiku. Ku
ambilkan kemeja dan celananya yang tercecer di lantai saat saling mencumbu tadi.
Kulemparkan diatas ranjang dan kuhempaskan tubuhku pada sofa kecil di depan rak
tv, mencari remote dan menyalakan tv dengan setengah hati, ayo…segeralah pergi!
Hampir tiap kali Indra dan laki-laki lain
yang sengaja ku undang kemari untuk bercinta denganku selalu kuperlakukan tak
lebih dan tak kurang seperti perlakuanku pada Indra. Dan reaksi mereka juga
belum ada yang sama sekali berbeda dengan reaksi Indra, meratap, penasaran,
mengharap, sekaligus kehilangan nyali di waktu yang sama. Hanya karena jawabanku
tentang kemaluan mereka yang tidak bisa memuaskanku, nyaris seluruh harga diri
mereka terbuang. Garis-garis wajah mereka akan turun beberapa senti, dan mata
mereka seperti tak punya keberanian untuk menatapku. Mulut mereka pun akan
tiba-tiba terkunci rapat, kehilangan nyali
untuk berdebat dengan penolakanku terhadap mereka.
Aku begitu kecanduan pada reaksi mereka.
Aku tidak pernah mencari kepuasan dari kemaluan-kemaluan mereka, tapi aku
memburu garis-garis wajah dan kecewa yang terbaca pada mata mereka. Aku bisa tiba-tiba
mengalami kepuasan luar biasa, ketika dengan kepala tertunduk dalam-dalam, mereka
berlalu meninggalkanku sendiri, tepatnya setelah aku mengusir mereka. Aku puas
ketika mereka menyembunyikan wajah dan membuang harga diri mereka di bawah
bantal hanya karena sebaris kalimatku tentang ketidakpuasaanku bercinta dengan
mereka.
“Jangan tinggalkan aku,”
“Sudahlah Leksa, pergilah… dan jangan
pernah lagi kemari,”
“Tapi aku mencintaimu Restu, aku ingin
selamanya tinggal disini denganmu,”
“Aku sudah tidak membutuhkanmu Leksa, ini
sudah sangat cukup. Aku bosan denganmu,”
“Katamu kau mencintaiku Res?”
“Itu dulu, dulu sekali. Sekarang aku
mencintai perempuan lain,”
Aku
tumbang. Tanganku yang bercabang kemana-mana hingga nyaris menyentuh langit,
tiba-tiba mengering, retak dan patah satu-satu, berguguran pada tanah yang
terbungkus katun bercorak. Aku tak mampu menatap wajah Restu, laki-laki yang
kucintai, laki-laki yang membuatku tumbuh subur penuh cabang dan berakar kekar
dengan cinta.
“Kenapa baru sekarang kau bosan padaku
Restu?”
“Kau sudah tidak bisa memuaskan gairahku
di ranjang Leksa. Terlalu banyak kewajiban ini itu yang kau bawa di ranjang
ketika kita bercinta. Selalu kau ceritakan ini itu tiap kali kita hendak
bercinta. Aku muak dan bosan dengan itu, ikatan, tanggungjawab, semuanya begitu
menyesakkan. Aku tak bisa lagi bergairah denganmu,”
Aku
mengering, kulit coklatku betul-betul mongering, mengelupas bagian demi makian,
runtuh menjamah tanah. Seluruh bagian tubuhku luruh dan jemari-jemari tanganku
yang bercabang sampai nyaris menggapai langit memaksaku tumbang. Aku tenggelam
di bawah bantal, tak lagi berani menatap Restu, tak ingin mengucap apa pun
lagi. Aku tumbang.
“Leksa, kemarilah…,”
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin
memelukmu,”
Aku
tidak menatapnya, tidak juga meliriknya. Telingaku merasa asing ketika
mendapati permintaannya. Ini tidak biasa, dia tidak pernah melakukan itu
setelah kami mengakhiri pergumulan di atas ranjang.
“Aku hanya ingin kita berpelukan dan
mendengarkan ceritamu,”
Aku
diam. Tak sedikit pun bergerak, menengok pun tidak. Aku selalu disini tiap kali
selesai bercinta, di sofa menikmati siaran tv yang sama sekali tidak kutahu
sedang menyiarkan apa.
“Aku terlalu sering menceritakan hidupku.
Kali ini aku ingin mendengar tentang kisah hidupmu. Kemarilah Leksa,”
“Cepatlah pulang, waktumu sudah habis. Aku
ingin sendirian,”
“Aku masih punya banyak waktu Leksa,
bahkan untuk menemani selamanya disini,”
“Aku tidak memerlukanmu selama itu,”
“Mungkin…, sudahlah…kemarilah, peluk aku,”
Kakiku
mulai mengeluarkan akar-akar kecil dari sela-sela jemari. Begitu juga tanganku,
akar-akar itu tumbuh sangat pendek, tapi tumbuhnya bersamaan.
“Apakah kau tahu namaku Leksa?”
Mulutku
terkunci.
“Biasanya kau menyebutku laki-laki hari
Senin, karena aku selalu menemuimu tiap hari Senin. Tapi itu bukan namaku.
Apakah kau mau tahu siapa namaku?”
“Pulanglah, ini bukan rumahmu dan aku
tidak pernah butuh teman ngobrol,”
Aku
meninggalkannya, menuju dapur dan membuat secangkir kopi. Kuperhatikan
akar-akar kecil yang tumbuh di sela-sela jemari kaki dan tanganku. Hanya karena
dia menyediakan waktu dan kepalanya untuk mendengarkan kisah hidupku, akar-akar
ini sudah tumbuh. Bodoh! Aku harus mencongkel akar-akar itu dengan pisau dapur.
Dan aku mulai mencongkelnya dengan ujung pisau yang runcing. Aku tidak mau
akar-akar itu menjadikanku pohon yang kian hari kian besar, berakar dan
bercabang karena banyak harapan, waktu dan mungkin cinta yang diberikannya saat
ini dan beberapa saat ke depan. Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah mau
menjadi pohon besar yang tumbuh menyentuh langit, lalu tiba-tiba di tumbangkan
begitu saja olehnya.
“Cepat, pulanglah!” Aku menghampirinya
dikamar dan berteriak sekencang-kencangnya. Histeris. Dia tersentak kaget.
Menatapku sebentar lalu buru-buru memunguti pakaiannya.
“Tenanglah Leks,”
“Cepat pergi dari sini, aku muak!”
Dia melirikku dengan tubuh gemetaran ketika
mendapati sebilah pisau di tanganku. Ternyata pisau yang kupakai mencongkeli
akar-akar di sela-sela jemariku tadi masih kugenggam erat-erat.
“Iiiyaaa Leksa….,”
“Cepat!”
Dengan
buru-buru, dipasangnya kemeja dan celana panjangnya sambil sesekali melirik
siaga ke arahku.
“Namaku Pambudi Widagdo, aku suka membaca.
Aku bisa membacakan buku tiap kali kau hendak tidur. Aku ingin mengenalmu
Leksa,”
Mulutnya
yang kurang ajar, seenaknya mengeluarkan kalimat-kalimat yang kembali membuat
akar-akar yang tadi ku congkeli tumbuh lagi.
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiiii…..!”
Wajahnya
langsung pucat pasi mendengar teriakanku. Kepalanya menunduk dalam-dalam
menatap lantai. Buru-buru dia tinggalkan kamar tanpa berani lagi menengok
padaku. Pohon besar itu tumbang, daun-daunnya rontok memenuhi lantai,
akar-akarnya mencabut tanah basah dan menghitamkan sebagian lantai yang
tertutup dedaunan. Pohon besar itu kali ini tidak tumbang di bawah bantal, tapi
di depan pintu kamar.