Selasa, 31 Januari 2012

DIALOG DALAM DIAM

Kubur itu bertumpuk kisah
Berbisik tentang lalu lalangnya resah
Menahan puluhan gelisah
Dan menidurkan pinta yang rebah

Pernah kutanyakan pada nisan,
"Cukupkah sekali berucap lalu lupa berkelindan?"
Tak sekali pun kisah itu dinyanyikan
Berawal dalam tanya dan terbentur pengingkaran

Diam terus bertingkah,
Merajam jejak tanpa langkah
Memutus nadi tak menyisa darah
Lalu meninggalkan gundah yang merajah

Sekali lagi kutanya pada diam,
"Apakah sunyi selalu bias ketika kita bungkam?"
Bisu lagi menghambur pada gurindam,
Bahkan tanya pun terus melipat malam
Baca Selengkapnya - DIALOG DALAM DIAM

Senin, 30 Januari 2012

PESAN DI PINTU LEMARI ES YANG MELUKIS MALAM DENGAN AIRMATA

       "Jangan kau nyalakan dulu lilin itu. Kemarilah,"

Setengah kaget kutengok asal suaramu yang berat dan memecah heningnya malam. Disana kau menggelar luasnya dekapanmu. Kubatalkan airmata yang nyaris berontak. Gontai kuhampiri dirimu yang tersenyum. Jatuh galauku dalam pelukanmu, laki-laki yang kucintai sebelum malam menghitam.
       Ini malam di luar kebiasaanmu denganku. Tidak seperti biasanya. Tubuhku penuh siaga dalam pelukanmu yang entah untuk apa malam ini. Belai jemarimu pada helai-helai rambutku tak pernah bisa kurasakan lagi hangatnya. Satu lagi keterasingan menghantuiku ketika kita beradu raga demi cinta yang terlampau lama kandas. Kucari malamku dari luar jendela yang tak terbungkus gordyn. Aku mencari diriku disana. Sepi.

**

       Pagi ini kubaca selembar catatan yang kau tempel pada pintu lemari es,
     
Sore ini pakailah gaun merah dan sepatu beludru yang kubelikan untukmu minggu lalu. Aku akan menjemputmu sore ini., Kita makan malam dengan teman-teman lamaku. Gerai saja ikal rambutmu yang indah itu . Biarkan aku jatuh cinta lagi padamu malam ini. 


Makan malam lagi, ramah tamah lagi, senyum basa-basi lagi, hah....ini pasti akan jadi hari yang membosankan lagi. Kuremas gemas kertas berisi pesanmu dan kulempar begitu saja. Berat tiba-tiba menyerang kakiku. Malas. Kunyalakan TV dan kurebahkan tubuh pada sofa empuk di ruangan sepi ini. Pikiranku tak mau diam, terus meracau penuh kesal hanya karena selembar pesan di pintu lemari es. Aku ingin tidur lagi.

***

       Tak henti-hentinya pelukanmu menyembunyikan tubuhku pada ruangan dingin yang menakutkan ini. Sesekali kau cium kening dan rambut ikalku yang tergerai indah, seperti yang kau mau. Tawa teman-temanmu tak juga kering sedari kita datang sampai sejam berlalu dengan kejenuhan mematikan buatku. Beberapa pasang mata teman-temanmu melirikku dengan penuh selidik. Ini bukan pertemuan pertamaku dengan beberapa temanmu, bukan juga basi-basi sekali dua kaliku dengan mereka, tapi berada di dekat teman-temanmu sellau membuatku tidak nyaman.
       Senyummu kutingkahi juga dengan senyumku, aku selalu sempurna seperti yang sudah kau pesankan pada secarik kertas di pintu lemari es. Semakin aku sempurna, semakin erat pelukanmu. Semakin bertubi-tubi pula ciumanmu.
      
        "Aku mencintaimu. Malam ini kau membuatku jatuh cinta lagi,"
    
     Malam ini aku sangat sempurna!
Aku memakai gaun merah dengan potongan V dan sepatu beludru hitam berhak tinggi dengan rambut ikal yang kugerai begitu saja. Disana ciumanmu mendarat berkali-kali. Rambut hitam ikalku selalu jadi ornamen yang kau suka dari keseluruhan tubuhku. Malam ini seperti malam-malam kemarinku denganmu dan beberapa temanmu. Malam yang habis dengan cerita dan tawa yang tak kumengerti. Malam yang membeku di ruangan berpendingin dengan makanan dan minuman mahal yang selalu memaksaku menggigil pada liatnya dekapanmu. Malam-malam yang membunuh.

***
       Balkon ini selalu bisa membuatku jujur setelah berpuluh malam yang tak kumengerti membunuhku. Kau akan menciumku dalam pelukan yang rapat setelah semua peran kulakukan dengan sempurna. Lalu rutinitasmu tuntas dalam beberapa menit dan ranjang itu melenakanmu dalam lelap. Dan aku disini, telanjang tanpa sehelai benang, duduk memeluk diriku yang sendiri. Bersembunyi pada lebatnya rambut ikalku dengan sebatang rokok. Angin malam meniupi sekujur kulit tubuhku. Angin malam tak sedingin kita. Dalam ketelanjangan di balkon, kerap kali aku mengingat kita yang telah lama mati pada kisah. Aku mencintaimu di masa lalu. Ketika kau membunuh segala rasaku dengan berlembar-lembar pesan di pintu lemari es, disana aku mulai menikmati angin malam dengan ketelanjangan dan berpuluh batang rokok yang kusundutkan pada dada, perut, paha dan kemaluanku.
       Kau, laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang mengajariku bagaimana melukis malam dengan airmata. Laki-laki yang tidak pernah melihat tubuh telanjangku. Laki-laki yang sibuk menuliskan berlembar-lembar pesan di pintu lemari es untuk malam yang sempurna bagi duniamu.
Dan aku perempuan yang menyerah pada lelah untuk menggapai diriku pada hatimu. Perempuan yang terus menangis dengan tubuh telanjang di balik lebatnya rambut ikal yang kau suka. Perempuan yang lebih memilih membakar kulit tubuhnya dengan rokok di hampir seluruh malam pada balkon dan malam.
       Aku diam dengan airmata, tak pernah lagi mampu memanggil namamu, sekali pun kulitku memerah terbakar panasnya rokok yang kusundutkan di dada, perut, paha dan kemaluan. Airmata jatuh menumpahi luka pada tubuhku, airmata yang menggarami luka. Aku terlanjur mencintai kebisuan pada tubuh laki-lakiku yang telah lama membuatku hilang.
      
Baca Selengkapnya - PESAN DI PINTU LEMARI ES YANG MELUKIS MALAM DENGAN AIRMATA

KITA ADALAH CERMIN RETAK

Aku pupus
Dalam hempasan penuh maki
Terjerembab pada dasar kisah yang terputus
Memilih mati lebih awal untuk tragisnya benci

Aku sekarat
Dalam letihnya pengharapan
Terjerat pada panasnya bara yang menyengat
Memutuskan melepas nyawa untuk kematian

Kau alas kakiku,
Yang kugagahi dalam senggama durjana
Kutelanjangi tanpa doa dan ikat akad  sebelum pagi membeku
Kau penyadur tawaku ketika tiap kali kau tunggu cinta setelah senggama

Kita adalah malam dan ranjang
Menghitam pada kelamnya jelaga tak berpenghalang
Terus meratapi noda dalam dusta-dusta yang telanjang
Kitalah cermin retak, pengingat cabulnya ranjang tanpa nama terang
Baca Selengkapnya - KITA ADALAH CERMIN RETAK

Minggu, 29 Januari 2012

MERATAPI BAYANGAN

Kita bertemu pada setengah raga
Dalam luluhnya jiwa tanpa nyawa
Bersama memohon satu lagi masa
Diam saling menggenggam jemari, akankah ada?

Kau memunguti luka dengan airmata
Aku membuang perih bersama tawa
Ku lihat lukamu merasuki rongga rasa
Aku menyimpanmu pada perih yang kulupa

Bara itu menyala
Menyapa kemarau setelah tanya
Dan kau diam tanpa satu pun kata
Kita terhenyak pada waktu yang nelangsa

Kau disana,
Menimbun luka dengan belati di dada
Aku disini,
Meratapi bayanganmu yang tak kunjung bernyawa
Baca Selengkapnya - MERATAPI BAYANGAN

Sabtu, 28 Januari 2012

DIA, DIRIMU DAN MEREKA

Dia sepertimu,
Menjamah bekunya hatiku ketika telanjang
Memintaku mempercayai cinta setelah kelamin beradu
Menghangatiku di malam-malam yang menjadikanku jalang
Aku mengharapnya ada dalam doa tanpa sehelai benang, aku mencarimu
Kau sepertinya,
Menumpahi tubuhku dengan peluh panas dalam desah
Menceritakan cinta ketika tubuh liarmu meminta selangkanganku terbuka
Menyelimutiku dengan mimpi-mimpi yang menguburku dalam panjangnya gelisah
Aku memasung diriku pada berisiknya ranjang tanpa dirimu, aku kehilangan dia

Dia, dirimu dan mereka tak pernah ada pada esokku
Datang hanya pada malam-malam yang kalian mau
Diam mematung ketika setengah mati aku merindu
Deras menghujaniku dengan harap tanpa temu
Aku tetaplah diriku yang setia menelan pilu




Baca Selengkapnya - DIA, DIRIMU DAN MEREKA

MENCINTAIMU DIANTARA PINTU YANG TERBUKA DAN TERTUTUP

           "Jangan ikuti aku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Tidurlah duluan, nanti aku menyusul,"
       Tiba-tiba hangat tubuhmu menghilang. Tipis kulit tubuhku mencarimu. Hidungku meraba aroma tubuhmu. Tak ada. Baru saja kau disini bersamaku, menikmati sore dengan secangkir kopi panas dan cerita-cerita kemarin yang menyelimuti kita. Sore-sore yang selalu kunantikan setelah pagi memisahkan kita dengan keharusan akan ini itu. Sering sekali kebersamaan kita tiba-tiba terhenti saat aku mulai terbawa nikmatnya menyandarkan kepalaku pada bahumu. Aku yang terbuai ketika meninggalkan hembusan nafasku yang teratur pada irama nafasmu yang melenakan. Selalu saja harus kutelan kehampaan ketika tubuhmu beranjak. Dan setelah semuanya kau tinggalkan, aku selalu saja mencarimu. 
      Terbawa tubuhku pada langkah kakimu yang beranjak menjauh. Ingin rasanya kuteriaki punggungmu yang berlalu. Tidakkah kau merasa, kata-katamu selalu menampar hatiku dengan sangat. Tidakkah kau merasa kau telah menyakitiku? Berkali hatiku memanggilmu, berkali pula mataku kau buat terbuka lebar-lebar dengan pintu besar yang selalu berhasil menyembunyikanmu dariku. Pintu angkuh yang menjulang tinggi dengan kokohnya seakan-akan menginjak-injak adaku dihadapanmu. Disana kau menyembunyikan dirimu berlama-lama tanpaku. Tiap malam hanya ruangan itu yang bisa memilikimu. Dan langkahku yang mengikutimu selalu terhenti begitu saja ketika tubuhmu hilang disana. 
      Dulu, ketika semuanya masih menjadi sesuatu yang baru kunikmati denganmu, kerap aku mencibir pintu bodoh itu dengan umpatan dan cacian. Menunggumu berjam-jam di depan pintu itu dengan hati yang kembang kempis sekedar menantimu keluar dari ruangan sialan itu dan meninggalkannya. Sering sekali aku merindukanmu teramat sangat ketika berjam-jam kau disana tanpa menghiraukanku. Aku menunggumu diluar pintu. Mengharapmu secepatnya keluar agar bisa kurengkuh lagi tubuhmu yang kurindukan. Puluhan harap dan rinduku tak pernah sekali pun membuatmu keluar dari pintu angkuh itu. Kau hanya keluar dari sana ketika kau memang mau keluar dan meninggalkan ruangan itu. Aku, cinta dan rinduku tak pernah bisa memaksamu keluar dari sana. 
      Sejak berkali airmataku tak juga kering kau hapus dengan jari-jari tanganmu ketika aku menunggumu diluar pintu, aku tak pernah lagi menunggumu disana. Tak juga kuiikuti lagi langkah kakimu yang meninggalkanku pada sore sore-sore kita dengan secangkir kopi panas dan obrolan. Aku biarkan dirimu ditelan pintu sialan itu berjam-jam. Silahkan. Aku sudah lelah memintamu keluar dari pintu itu. Aku sudah muak dengan diriku yang terus meronta di depan pintu bisu itu. Entahlah berjam-jam atau seharian kau disana, mati atau sekarat...terserah! Kuhabiskan diriku dengan waktu yang kukelabui dengan berita-berita basi di televisi dengan berpuluh cangkir kopi dan rokok sampai kantuk memelukku sebelum mataku mendapatimu kembali dihadapanku.

***
         "Selamat pagi sayang," Ciumanmu menyapa pipiku
          "Pagi,"
        Pagi ini, seperti biasanya kusiapkan roti lapis isi selai nanas kesukaanmu dan secangkir kopi pahit di meja makan. Pagi yang biasa, saling bertukar senyum, pelukan, sesekali ciuman seadanya. basa-basi dua tiga kata, lalu kita terpendar pada rutinitas masing-masing. Tunggu dulu! Ini tidak biasa, ciumanmu berlanjut pelukanmu pada pinggangku. Pelukan yang erat dan lama. Baru saja kusadari kejanggalan itu diantara kebosananku mengoleskan selai nanas pada roti lapismu. Kenapa pelukanmu tidak juga usai? Kau sandarkan kepalamu pada bahu belakangku. Pelukanmu belum juga kau lepaskan. 
         "Apakah kau mencintaiku?" Tanyamu sambil menciumi bahuku.
         "Ya," Jawabku penuh curiga. Ini aneh. Sangat aneh. 
       "Jangan pernah tinggalkan aku ya?" Aku terperangkap lagi dalam pertanyaan-pertanyaanmu yang sangat tidak biasa. Seharian ini kau memelukku tanpa jeda. Sesakali aku mencuri pandang pada bola matamu. Sesekali aku terlena lagi pada kenyamanan yang tidak pernah tepat kau hadirkan diantara kita. Aku tidak akan terlena lagi, tidak boleh! Pintu itu akan mencurinya lagi dariku. 
      "Hari ini mintalah ijin pada kantormu. Aku ingin berdua denganmu seharian ini. Aku     merindukanmu," Pelukanmu belum juga lepas. Aku menikmati permintaanmu dengan mata sendu yang memelas. 
          "Ya, aku akan menemanimu."
      Seharian kau menempel padaku, begitu liat, seakan ada ketakutanmu kalau kutinggalkan. Kemana pun aku melangkah, kau mengikutiku. Terus mengajakku bicara dan bercanda. Aku masih belum bisa mempercayai keanehanmu hari ini sampai akhirnya aku luber dalam airmatamu yang membasahi pipiku ketika eratnya pelukanmu pada tubuhku membuatmu terguncang, 
          "Aku sangat mencintaimu, Tam. Sedari awal aku menemukanmu di hatiku, hingga hari ini, aku terus mencintaimu,"
Aku mendongakkan kepalaku, mencari bola matamu disana. Kurasakan detak jantungmu begitu kuat pada telinga kiriku. Tubuhmu makin erat merengkuhku.
          "Aku ingin selalu bersamamu. Bantu aku menutup dan mengunci pintu itu selamanya, Tam. Bantu aku..." Tubuhmu terguncang hebat dengan airmata yang menderas. Bola matamu kosong dan begitu luas tanpa dirimu. Bibirmu bergetar, berkali-kali mengucap kalimat yang sama.
            "Bantu aku, Tam. Bantu aku!"
Aku terperangah penuh iba dan juga airmata. Kupeluk tubuhmu dengan penuh haru. Kupejamkan mataku mencoba meresapi sekujur tubuhmu yang bergetar dalam pelukan penuh harap dan ketakutan. Aku memelukmu dengan pelukan yang teramat sangat erat, lebih erat dari pelukanmu. Kuusapkan buku-buku jariku pada punggungmu.
         Dan masa yang kutakuti itu akhirnya tiba, meski tak pernah kuharap datang disaat-saat seperti ini. Disaat kau kembali pada cintaku. Kau beranjak dengan lunglai. Melangkah pelan dalam gontainya langkah-langkah kakimu yang berat. Pintu sialan itu lagi yang kau tuju. Menghilangkan dirimu dalam sekejap mata disana dalam hening yang menyentakku. Aku harus menggapaimu. Harus. Hatiku hancur tiap kali kau menyembunyikan dirimu dalam pintu bodoh itu. Tapi kali ini aku harus menguatkan hatiku untuk menarikmu keluar dari pintu itu. Kau yang memintaku mengeluarkanmu dan mengunci pintu itu selamanya darimu.
             Dengan hati yang remuk, kupaksakan kakiku menghampiri pintu itu. Semakin mendekati pintu itu, hatiku semakin tidak karuan. Kakiku gemetaran. Kuseret lagi beberapa langkah hingga sekarang aku benar-benar berada di depan pintu itu. Kupejamkan mata dan kutarik nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Rapat kakiku menopang tubuhku yang masih sedikit terguncang. Kusentuhkan jemari tanganku pada pintu itu. Bibirku gemeretak. Sekali lagi kupejamkan mataku. Kucari daun pintu yang dingin itu. Dalam pejam mata, kudorong pintu itu perlahan. Terbuka.

****

      Tangisanmu sangat memilukan. Rintihanmu terus membuatku menggigil dari luar pintu. Tiap kali aku mengantarmu masuk ke dalam pintu itu, melihatmu membukanya, lalu memaksa tanganku menariknya agar bisa rapat tertutup, selalu jadi ritual menyakitkan. Sejak hari kau memintaku menarikmu keluar dari pintu itu, aku tak pernah lagi membiarkan tubuhku berlalu dari pintu itu. Tidak seperti malam-malam sebelum kau memintaku membantumu keluar dari sana. Tidak lagi kuperkenankan tubuhku terlena berita-berita basi dengan puluhan cangkir kopi dan entah berapa ratus batang rokok. Tidak lagi.
         Sejak kupaksakan diri membuka pintu itu, hatiku tak pernah lagi meninggalkanmu. Aku terus berdiri di depan pintu itu selama berjam-jam, bahkan seharian, dengan mata yang terus mengeluarkan airmata, tubuh bergetar dan telinga berdarah. Airmata ini makin deras mengucur ketika rintihanmu makin menyayat hatiku. Tubuhku makin terguncang dengan darah yang deras keluar dari telinga ketika teriakanmu lirih menyiksaku dari luar pintu. Kau sakit. Dan kau menyakitiku.
        
*****

       
Disana, dalam gelapnya ruangan yang tak pernah sekalipun kumasuki hingga hari ini, kulihat kau memeluknya dibawah kerlip cahaya bulan yang menerobos masuk dari jendela kaca. Kau memeluknya seperti memelukku, erat dan liat. Kau menciuminya. Mengajaknya bercerita tanpa henti. Bertukar tawa penuh kehangatan, lalu menangisinya. Berulang lagi kejadian itu selama berjam-jam kemudian. Terus begitu. Mataku terbeliak, hatiku tersayat. Kau begitu terlarut dalam ruangan itu. Aku tak mampu menghampirimu, terlebih untuk menarikmu menjauh dan mengunci pintu itu selamanya, seperti yang kau minta padaku. Aku tak mampu!
        Aku tak miliki keberanian itu. Aku belum berani memaksakan cintaku bertarung dengan dirimu yang memujanya sedemikian hebat dari dalam pintu sialan itu. Aku masih belum berani menghampirimu, mengambil dan membanting pigura dengan wajahnya yang kau peluk kuat-kuat, kau ciumi, kau ajak bicara dan kau tangisi dengan begitu khidmat. Aku belum mampu dengan seluruh cintaku padamu untuk memintamu membuang semua kenangan masa lalumu dengannya yang kau simpan begitu lama di balik pintu itu. Aku tak punya keberanian bahkan setelah mengetahui laki-laki yang menikah dan hidup denganku selama 7 tahun terakhir  tak pernah utuh mencintaiku setelah memisahkan diriku dengannya dari balik pintu sialan itu. Aku tak tahu bagaimana cara membunuh kenanganmu darinya dan utuh hidup denganku tanpa kesedihanmu yang panjang akan kehilangan perempuan itu. Aku belum mempunyai keberanian untuk menarikmu keluar dari dalam pintu itu dan membuat matamu buta akan pintu sialan itu.
      Cintailah kenanganmu akannya selama kau mau. Milikilah dirinya pada sisa waktumu tanpaku di dalam pintu itu. Aku akan menunggumu dari luar pintu. Aku menunggumu. Menunggumu utuh mencintaiku tanpa dirinya dan kenanganmu dengannya. Sepanjang masa pun aku akan menunggumu. Cintaku teramat dalam padamu. Dan aku tidak pernah punya hak dengan setengah cinta yang kau berikan padaku untuk memisahkanmu dari kenanganmu akannya yang telah lebih banyak mencurimu dariku. Biarkan aku menunggumu mencintaiku sepenuhnya diantara pintu yang terbuka dan tertutup, diantara keberanianmu untuk melupankannya atau tetap kembali padanya. Aku akan tetap disini, menantimu di luar pintu.

Baca Selengkapnya - MENCINTAIMU DIANTARA PINTU YANG TERBUKA DAN TERTUTUP

Selasa, 24 Januari 2012

TUBUH PEREMPUAN YANG HILANG

Aku memintamu ada,
Malam ini temani aku menghapus merahnya cat kukuku
Hapuslah polesan bibirku, jangan sisakan apa pun disana
Aku ingin telanjang tanpa sisa birahi mereka pada tubuhku



Tubuh ini tubuh perempuan,
Yang menangis ketika tersendirikan
Yang terus meronta meminta malam segera usai
Tubuh ini lelah dijamah, tubuh ini masih gagap menggapai

Tubuh ini tubuh perempuan yang hilang,
Yang tak pernah diperbolehkan bersembunyi ketika muak menjadi jalang
Yang terus ditertawakan pergumulan desah dan peluh saat tak pernah ingin dilacurkan ranjang
Tubuh ini tubuh perempuan hilang yang ingin pulang

Sekali saja,
Ijinkan aku takut pada malam-malam tanpa sesiapa
Perkenankan aku menempa airmata pada dadamu tanpa kata
Sekali saja, ajak aku menemui pagi dalam tubuh telanjang tanpa dosa

Aku terus mengharapmu ada, 
Diantara tubuh-tubuh telanjang yang menggumuliku tanpa jeda
Terus memanggil namamu dengan selangkangan yang menjamu nista
Aku ingin kau ada!
Baca Selengkapnya - TUBUH PEREMPUAN YANG HILANG

LIDAH KELUKU INGIN BERLABUH

Ribuan kata pernah terikat
Liat menyemat asa dalam geliat
Terjerat hangatnya waktu yang lamat
Bilangan hanya pengingat, menjungkalkan puluhan kalimat
Tak ada kisah untuk retakan resah, meski terlanjur keramat

Bintang gemintang memangku gamang
Pulang berkubang penghalang, menyabung malang
"Kembalikan hatiku yang rebah, Sayang"
Masih ada kisah-kisah malamku yang tak kunjung kenyang
Tak mungkin kau telan, "Aku belum mau lagi menjadi jalang,"

Lidah keluku ingin berlabuh,
Diam penuh buih pada punggungmu, bersauh
Entah dimana puluhan peluh itu mengeluh
Mungkin pernah kutitipkan sebentar ketika aku gaduh
Atau, tak sekalipun dalam sendiriku kekosongan itu mengaduh?
Baca Selengkapnya - LIDAH KELUKU INGIN BERLABUH

Minggu, 22 Januari 2012

MENUNGGU NAMA

Kata hatiku,
"Malam ini tubuhku akan bernama,"
Ini sekian malam yang kunanti, kumau namaku!

Topeng wajahku gagu
Melepas senyum dalam merahnya gincu
Memberikan tubuh pada ranjang bergoyang
Mempersilahkan kemaluannya mengganyang

Tubuh kaku ku gersang
Dijamah jari-jari kasar yang jalang
Direbahkan dalam perkosaan semalam
Diludahi ketika belum sempat pelukannya membuatku karam

Malam ini dan malam kemarin,
Terus kucari cinta pada selasar malam
Menikmati noda demi noda pada kemaluan
Tapi terus kupunguti rasa dalam harap yang temaram

Aku menunggu nama,
Dari mata-mata penuh bius birahi
Berharap satu membawaku pulang menyematkan nama
Dalam lirih yang nyaris punah, "Aku menunggu namaku untuk paginya hati,"
Baca Selengkapnya - MENUNGGU NAMA

Sabtu, 21 Januari 2012

MEMBAKAR HUJAN

Menggigil diri dalam kenangan
Tertipu remah-remah rindu yang terbantah
Tak ada siapa pun dalam genangan gerimis
Tak lagi terisi muntahan mimpi-mimpi bernama

Rintik gemerisik penghujan kali ini hening
Menghanyutkan seluruh resahnya menanti
Menghukum rasanya ketidakadaan yang sendiri
Rebah lagi pada lantak dalam racau berurai airmata

Aku mencintaimu ketika sepi menelanjangiku
Adamu menghangantiku yang terkubur ketakutan
Aku menginginkanmu ketika musimku mencari
Meniadakanmu tak lebih dari satu hela nafas bagiku

Kubakar hujan kali ini dengan kehilangan
Kuhilangkan semua tanya tanpa lagi meminta jawab
Kuasailah musim penghujan terakhirku malam ini
"Tak akan lagi ada gerimis tentangmu yang menyandera khusyu'ku untuk melupa,"
Baca Selengkapnya - MEMBAKAR HUJAN

DIA

Seluruh lalumu cinta
Terisi penuh dengan rindu merindu
Terjawab erat pelukan rasanya merasa
Semua katamu tentangnya, dia cintamu

Seluruh kinimu rindu
Berpuluh syair berkulit megahnya kenangan
Bermuara tanpa ampun terus teruntuk lalu
Semua resahmu hanyalah dia, dia memilikimu

Dia terus ada, kau minta ada
Dia masih ada, tak pernah ditiadakan
Dia yang ada, mentertawakan rinduku
Dia saja, selalu dia yang mengencingi mauku

Dia di hatimu, rusukmu, lidahmu juga kemaluanmu
Dia mendesah resah ketika kau gumuli dalam gairah
Dia mencabik-cabik dalam ketelanjangan yang kusajikan padamu
Dia di sekujur tubuhku...kau paksakan ada padaku ketika aku rebah
Baca Selengkapnya - DIA

Jumat, 20 Januari 2012

MENCABULI HUJAN

Mataku terpaku
Telingaku kedap, bisu
Jari jemariku membeku
Tubuhku memangku duka palsu
Mengering dalam gerimis yang kaku

Disana kuhangatkan tubuh
Ketika memintamu adalah kemustahilan
Penghiburan tak lagi pernah berlabuh
Kupersilahkan keramaian mengawali ketiadaan
Aku menggigil dalam hangatnya sejarah lusuh

Menyibakmu dari labirin tabunya malamku, seperti...
Berkali meneteskan airmata dalam pergumulan telanjang
Terus menikamkan tubuh-tubuh beringas di altar sunyi
Memintamu berhenti, tak terhentikan, lalu tak berpulang
Akulah balada tentang rasa yang mencabuli hujan seorang diri
Baca Selengkapnya - MENCABULI HUJAN

DIA ADA PADAKU

Seluruh lalumu cinta
Terisi penuh dengan rindu merindu
Terjawab erat pelukan rasanya merasa
Semua katamu tentangnya, dia cintamu

Seluruh kinimu rindu
Berpuluh syair berkulit megahnya kenangan
Bermuara tanpa ampun terus teruntuk lalu
Semua resahmu hanyalah dia, dia memilikimu

Dia terus ada, kau minta ada
Dia masih ada, tak pernah ditiadakan
Dia yang ada, mentertawakan rinduku
Dia saja, selalu dia yang mengencingi mauku

Dia di hatimu, rusukmu, lidahmu juga kemaluanmu
Dia mendesah resah ketika kau gumuli dalam gairah
Dia mencabik-cabik dalam ketelanjangan yang kusajikan padamu
Dia di sekujur tubuhku...kau paksakan ada padaku ketika aku rebah
Baca Selengkapnya - DIA ADA PADAKU

Kamis, 19 Januari 2012

MENGETUK SURGA DARI DALAM NERAKA

Tubuhku penuh nanah
Dahaga akan derasnya darah
Bersenyawa dalam keluh kesah
Tanpa kutahu kapan bertemu sudah

Aku meraba surga dari kerak neraka
Menggapaimu dalam pinta secawan nelangsa
Kupaksakan tubuh dirajam ramainya dosa,
Aku mencarimu sebelum utuhku memecah kepala
 

Mencipta senyum dari sini,
Seperti menjauhkan doa-doamu sedari pagi
Kuserahkan tubuhku dikoyak malam-malam sepi,
Aku menantimu sebelum telanjang, bawa aku pergi


Diceritakannya tentang surga ketika aku mendesah
Yang kurasa neraka saat tubuhku terus dijamah
Neraka ini kutelan sewaktu berkali kubuka tubuhku dalam gelisah
Terus kuketuk surga dan kuhentikan semua, "Aku lelah mununggu surga dimatamu yang berdarah,"
Baca Selengkapnya - MENGETUK SURGA DARI DALAM NERAKA

BIBIR LAUT YANG BERBISIK

Aku disini,
Menantimu ketika genap berpuluh tanya di pangkuan
Ombak datang terus menggulung dengan cibiran, lagi
Bola mataku terlepas dan jatuh mencari pinggir lautan
Aku merajut kekalahan tanpa kuasa hati

Aku memuja hening
Menyembunyikanmu dalam belah bilah tanpa rongga
Kembali berkali lagi membelamu pada beningnya beling
Sisa diriku pecah, melantakkan gelombang rasa yang binasa
Aku menyimpan api pada tubuh tak bertaring

Dibasuhnya jemari kakiku dengan setengah sisa hatinya

Aku mati ketika dihidupkan kembali oleh kisahnya yang serupa
Pada bibir laut yang kukemasi kilau pasirnya, dia membunuh jeda
Airmatanya melubangi kebekuanku yang mengeras dipaksa masa
Bibir laut berbisik,"Pulanglah pada senja dihatinya,"
Baca Selengkapnya - BIBIR LAUT YANG BERBISIK

Rabu, 18 Januari 2012

GERIMIS SORE INI

Gerimis sore ini mati,
Rintiknya tak menyanyikan tawamu
Hanya heningnya lamunan, tak berarti
Tak lebih dari musim yang hadir dan berlalu
Aku mencarimu diantara kegilaanku menunggumu kembali

Gerimis sore ini pernah jadi milik kita,
Berisiknya memikat seikat liatnya rasamu pada rasaku
Seperti dimiliki ketika tak satu pun bisa kumiliki disana
Datang menghampiri di tempat yang terlalu lama bisu
Aku menginginkanmu diantara kelelahanku mencari jawaban tanya

Gerimis sore ini merebahkan semua luka,
Tak lagi ingin kuhibur kebohongan dengan lalunya kita
Kehilangan itu kutanam bersama ragamu yang maya
Siluet yang sesekali menanyaiku tentangmu, kularung pada masa
Kau kembali ketika diantara kenanganmu tentangku tak lagi membuatku merasa
Baca Selengkapnya - GERIMIS SORE INI

Selasa, 17 Januari 2012

MATANYA YANG TERUS MEMINTA LUKA

Telingaku berdarah
Tanganku gemetar
Dadaku penuh sesak
Kedua kakiku ditoreh luka

Kau tak ada, Mak
Bapak juga tak pernah ada
Aku takut boleh takut
Sekali saja aku ingin memelas
Dimana jalanku terhenti?
Ketika aku meraung, sekaratku menulikan kalian
Bagaimana caraku bertemu ajal?
Ketika aku terlahir tapi terus meraba lukanya duka

Aku kesendirian yang dipaksa hadir
Terbungkam persetubuhan panasnya ranjang haram
Lalu dimuntahkan pada menara nista tanpa pencipta
Biarkan aku terus meminta luka dengan mataku, biarkan aku terluka!
Baca Selengkapnya - MATANYA YANG TERUS MEMINTA LUKA

Minggu, 15 Januari 2012

BAPAKKU HILANG

Aku mencarimu, Pak
Ketika laki-laki itu menjamahiku
Ketika mereka meminta tubuhku
Ketika aku gemetar ditelanjangi
Aku mencarimu kesana kemari

Aku kehilangan pelukanmu, Pak
Sewaktu kelu bibirku memanggilmu
Sewaktu beku dadaku memintamu ada
Sewaktu lebam mukaku penuh tendangan
Aku kehilangan dirimu yang tak ada disini, tak juga disana

Masihkah kau bapakku?
Yang dulu menangis saat menamaiku penuh cinta
Yang kemarin menceritakan mimpi dengan baris-baris doa
Yang pagi itu menyanyikan rindu diantara langkah dan harap
Masihkah kau bapakku yang kucari padanya, juga pada mereka?

Hilanglah, Pak....
Hilangkan aku yang tak pernah lagi menyebut namamu
Hilangkan aku yang bertemu lelah ketika menantimu datang
Hilangkan aku yang terpaksa menikmati mereka saat jengah mencari
Hilanglah, Pak...kuburkan dirimu dalam timbunan perihku yang terlanjur memilih neraka
Baca Selengkapnya - BAPAKKU HILANG

PELACUR YANG MENIKAHI DINDING BISU

Malam ini tubuhku sudah laku
Sekali lagi membuat lunglai yang kaku
Berpaling tubuhku dari malam nan beku
Malam ini aku sangat merindukanmu

Kubuang lembaran rupiah dari kalian
Berkali lagi kuludahi mereka ketika berpeluh
Hanya malam yang dilacurkan persetubuhan
Aku merindukanmu dalam tubuh gemetaran


Disini kau selalu menunggu
Diam tak bernyawa, membuatku hidup
Padamu kusandarkan tubuh tabuku
Penantian tak pernah menghitung, aku terhirup


Aku menikahimu tanpa jemu
Menelanjangi diriku untuk mereka
Memasung noda dalam tubuh yang malu
Aku menikahi dinding bisu, tempatku memulangkan airmata
Baca Selengkapnya - PELACUR YANG MENIKAHI DINDING BISU

Selasa, 10 Januari 2012

MENZIARAHI KENANGAN

Aku mengawinimu dengan tubuh telanjang
Dengan kegagahan yang menelanmu bulat-bulat
Dengan mahar basa-basi lidah penuh api terlarang
Dengan sumpah beracun diantara kerongkongan terjerat


Aku bergincu darah
Di malam pertama kau mencabik-cabik pemujaanku padamu
Terpental jauh di sudut kelamnya mimpi tanpa sinar pencerah
Terkungkung perih diantara tendangan-tendangan tanpa halau

Aku tergenangi racun
Di hari pertama kutawarkan tubuhku yang bugil menggigil
Terkebiri muntahan kekecewaan dengan lidah sibuk menelan
Teraniaya sayatan luka yang kutoreh dengan belati tak terambil

Aku menguburmu hidup-hidup
Pada waktu kurajakan kebodohanku di telapak kakimu
Membuangmu pada liang hitam penuh darahku yang terus kau raup
Menziarahimu dengan kenangan-kenangan yang menguburku kaku
Baca Selengkapnya - MENZIARAHI KENANGAN

AKU PASTI ADA PADANYA

Begitu kubuka,
Tubuh telanjangnya penuh dia
Ketika kucari diiriku padanya
Yang kudapati hanya sisa-sisa dia
Terus kucari lagi diriku padanya
"Aku pasti ada padanya,"

Kujejali tubuhnya dengan tubuhku
Bibirku pada dadanya, dada yang beku
Kutandai sekujur tubuhnya dalam bisu
Peluhku mengalirinya, deras bersama tabu
Seluruh jiwaku bersamanya tanpa masa lalu
Tak sekali pun ruhnya meminta dia berlalu

Dia terus memenuhimu
Disana, disini, kesana, kesini, ke segala penjuru
Dia saja yang kau puja dalam kisah di dalam kelambu
Peluh dan desahmu tergetar hanya karenanya yang lugu
"Aku tak pernah ada untukmu dalam cumbu penuh peluh tanpa rindu,"
Diriku tak lebih dari sekelumit kisah dalam tubuh penuh laknat yang kau mau
Baca Selengkapnya - AKU PASTI ADA PADANYA

Senin, 09 Januari 2012

LAHIRLAH UNTUK MATI, NAK

Kepalamu menengadah
Dengan kulit masih merah
Dengan rambut belum nampak
Dengan jari-jari mungil menjamah

Mulutmu meracau meminta nama
Matamu terbeliak memanggil bapak
Tanganmu menampar raut mukaku
Kakimu menendang, memaksaku memunguti jejak

Tangisan itu menggelegar
Meminta bapakmu yang berlalu
Airmata itu tak juga mengering
Menjauhkan bapak yang tak mengakuimu

Aku tak bisa memberimu dunia
Surgamu ini tak miliki surganya sendiri
Aku tak bisa memberimu nama, Nak
Hanya bisa menghadirkanmu untuk menguburmu lebih pagi
Baca Selengkapnya - LAHIRLAH UNTUK MATI, NAK

Kamis, 05 Januari 2012

AKHIR YANG TERAKHIR

Disana,
Bertukar punggung dan melihat jalan yang sama
Ketika mendapati kaki mengarah ke tempat berbeda
Rindu itu tetap ada diantaranya, terjaring kuasa masa

Teruslah berharap bertemu di satu jalan
Mungkin tak akan pernah bertemu dalam satu kehangatan
Walau terus memaksakan pinta di setiap sekat pengharapan
Kemari atau kesana bukan mereka penentunya, tapi kita dan kemauan

Akankah ada satu musim pulang bagi petarung-petarung kelelahan,
Yang memperkenankan cinta bersemayam untuk akhir yang terakhir?
Baca Selengkapnya - AKHIR YANG TERAKHIR